Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Sumbangan Legal Sekolah

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Supartono JW

Di bulan kedua tahun pelajaran baru 2018/2019, Agustus 2018, di seluruh jenjang sekolah seantero nusantara, bersama komite sekolahnya, sedang disibukkan oleh agenda pertemuan dengan para orang tua peserta didik, membicarakan iuran dan sumbangan sekolah, tak terkecuali di wilayah Jabodetabek.

Dari beberapa informasi yang saya dapat, baik dari media cetak maupun online, banyak orang tua peserta didik yang mengeluhkan, mengapa Komite Sekolah tahu-tahu sudah memutuskan besaran iuran (SPP) dan sumbangan pembangunan, tanpa terlebih dahulu melakukan koordinasi dengan orang tua peserta didik.

Hal ini terjadi di jenjang pendidikan Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah (SMP/ MTs), hingga Sekolah Menengah Atas/Kejuruan/Madrasah Aliyah (SMA/K/MA).

Agar iuran dan sumbangan sekolah ini tidak menjadi persoalan yang dapat memicu kontroversi di kalangan orang tua peserta didik dan masyarakat, maka sekolah, komite sekolah, dan orang tua peserta didik wajib duduk bersama menyikapinya. Lalu, melaksanakan program iuran dan sumbangan sekolah tersebut sesuai dengan peraturan pemerintah yang telah ditetapkan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016, Kementerian dan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah memperingatkan pihak komite sekolah untuk tidak memungut dana tambahan dari peserta didik atau orang tua siswa.

Sesuai peraturan tersebut, dijelaskan bahwa Komite Sekolah bukanlah pihak yang berwenang untuk memungut biaya atau dana dari peserta didik dan orang tua peserta didik.

Kendati bunyi peraturannya sudah jelas, faktanya masih banyak sekolah yang memungut biaya iuran tambahan atau sumbangan dari orang tua peserta didik, baik di sekolah swasta maupun negeri.

Alasannya, pungutan tetap dilakukan, mengingat mereka juga membutuhkan dana untuk pembangunan atau penambahan fasilitas sekolah. Alasan lainnya, ada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dari pemerintah. Namun dana BOS tersebut hanyalah bantuan dari pemerintah untuk menutupi biaya pelayanan pendidikan yang mendasar, sehingga masih diperlukan tambahan dana dari iuran dan sumbagan orang tua peserta didik.

Berdasarkan kenyataan bahwa Komite Sekolah masih tetap melakukan pungutan iuran maupun sumbangan kepada orang tua peserta didik, maka sesuai penjelasan yang pernah dirilis ke awak media oleh Kepala Biro Hukum dan Organisasi Sekretariat Jenderal Kemendikbud Dian Wahyuni (15/1/2017) bahwa Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah yang ditetapkan dan diundangkan pada 30 Desember 2016 sangat clear. Pihak sekolah sama sekali tidak boleh melakukan pungutan pada murid dan wali murid, hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12.

Dalam Pasal 10, disebutkan bahwa Komite Sekolah melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya untuk melaksanakan fungsinya dalam memberikan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan.

Penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lain oleh Komite Sekolah dilakukan dalam bentuk bantuan atau sumbangan sukarela. Dengan kata lain bukan dalam bentuk pungutan melalui keputusan Komite Sekolah yang besarannya ditentukan. Keseluruhan prosesnya juga dipertanggungjawabkan secara transparan.

Selanjutnya di Pasal 11 dan Pasal 12 ditekankan bahwa penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lain tidak diperbolehkan bersumber dari perusahaan rokok, perusahaan beralkohol dan partai politik. Komite Sekolah, baik perseorangan maupun kolektif itu sangat tegas dilarang melakukan pungutan dari peserta didik atau orang tua atau walinya. Pendek kata, Permendikbud 75, tidak keluar dari fungsi dan esensi Komite Sekolah, yaitu sebagai mitra sekolah.

Berdasarkan penjelasan pasal-pasal tersebut, para orang tua peserta didik wajib dapat membedakan antara iuran dan pungutan liar yang diberlakukan oleh komite sekolah. Perlu diingat bahwa komite sekolah adalah organisasi yang dibentuk sekolah untuk membantu sekolah.

Sumbangan Legal

Sumbangan dan Iuran sekolah yang dilakukan oleh komite sekolah tidak melanggar peraturan Mendikbud jika organisasi orang tua siswa, organisasi kesiswaan, atau organisasi mahasiswa ikut dalam pembahasan dan persetujuannya.

Berikut adalah beberapa ciri-ciri menyangkut iuran/ sumbagan sekolah yang legal. Pertama, Tidak ada batas nominal dan waktu pembayaran. Pemungutan biaya disebut sumbangan atau legal jika tidak ada batas nominalnya, serta tidak ada tenggat waktu pembayarannya. Kedua, Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) merupakan pemungutan iuran yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah Provinsi. Sedangkan iuran dari pihak sekolah di luar itu tidak memiliki dasar hukum, apalagi jika diputuskan sepihak oleh sekolah.

Bila para orang tua peserta didik di seluruh jenjang pendidikan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah (SMP/ MTs), Sekolah Menengah Atas/ Kejuruan/Madrasah Aliyah (SMA/K/MA), telah memahami mengapa sekolah tetap membutuhkan tambahan anggaran dari iuran dan sumbangan dari orang tua peserta didik, serta memahami fungsi dan peran Komite Sekolah, maka menyoal iuran dan sumbangan sekolah ini, tidak perlu lagi diperdebatkan.

Terpenting, seluruh proses dari lahirnya kententuan iuran dan sumbagan untuk sekolah, telah melalui proses dan mekanisme yang benar. Tidak melenceng dari peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Yang pasti, demi tergaransinya proses KBM di sekolah, anggaran dari pemerintah memang hingga kini masih belum cukup untuk mengakomodir seluruh kebutuhan proses KBM hingga sarana dan prasaarana yang mendukung KBM.

Mengingat masalah iuran dan sumbagan sekolah hampir setiap awal tahun pelajaran baru menjadi polemik, serta adanya perubahan proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) PPDB 2018 sesuai Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 yang mengatur sistem PPD 2018 dengan peraturan di antaranya, kuota siswa yang diterima berdasarkan sistem zonasi, domisili, jalur prestasi, jalur nilai ujian, (untuk SMP dan SMA) serta jalur keluarga ekonomi tidak mampu hingga mencapai 20 persen, maka Komite Sekolah wajib hatihati dalam merumuskan dan menentukan besaran iuran dan sumbangan orang tua peserta didik.

Komite Sekolah dan Sekolah wajib melihat secara objektif kemampuan ekonomi orang tua peserta didik dalam menentukan besaran iuran dan sumbangan. Lalu, membuat pola iuran dan sumbangan dengan besaran yang berbeda. Tidak dipukul sama rata untuk semua peserta didik baik besaran iuran (SPP) maupun sumbangan pendidikannya, karena awal proses peserta didik masuk dan diterima di sekolah bersangkutan pun melalui seleksi yang berbeda cara pula.

Dengan adanya data-data orang tua yang akuntabel, maka Komite Sekolah dapat merumuskan besaran iuran dan sumbangan sekolah dengan pola yang juga mengikuti cara PPDB, maka akan didapatkan hasil yang adil, objektif, transparan, dan saling melengkapi demi lancar dan suksesnya proses KBM di sekolah.

Paradigma sekolah unggulan kini coba dihapus, maka lahir Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 yang mengatur sistem PPD 2018. Untuk itu, dengan hadir dan diterimanya peserta didik dari berbagai golongan dan status ekonomi di sekolah, ditunjang oleh Komite Sekolah yang handal, menjalankan peran dan fungsinya sesuai peratuan yang digariskan, serta mampu menjembatani kepentingan sekolah dan peserta didik dari berbagai kalangan, maka akan lahir peserta didik yang unggul.

Penulis pengamat pendidikan dan sosial

Komentar

Komentar
()

Top