Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengentasan Kemiskinan I Banyak MBR Masih Menggunakan Kayu Bakar untuk Memasak

Subsidi Energi Harus Berpihak ke Masyarakat Miskin

Foto : ANTARA/RIVAN AWAL LINGGA

BERHAK PEROLEH SUBSIDI DAN BANTUAN I Warga berjualan di depan rumahnya yang semi permanen di pinggir rel Pejompongan, Jakarta Pusat, Selasa (2/2). Laporan Badan Pusat Statistik pada awal pandemi Covid- 19, Maret 2020 menyebutkan jumlah penduduk miskin Indonesia 9,78 persen atau 26,42 juta jiwa. Mereka inilah yang seharusnya berhak menikmati subsidi dan bantuan sosial dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional.

A   A   A   Pengaturan Font

» Disparitas harga cukup tinggi menyebabkan konsumen memburu elpiji dan solar subsidi.

» RI dan Jerman sepakat mendukung transisi energi bersih melalui program "Clean, Affordable, Secure Energy" di Asia Tenggara.

JAKARTA - Wakil Presiden (Wapres) Ma'ruf Amin meminta Kementerian terkait untuk mengkaji kebijakan subsidi energi agar lebih memihak pada masyarakat rentan dan miskin. Kebijakan subsidi energi seharusnya dapat diakses seluruh lapisan masyarakat serta mampu mendorong penghematan anggaran dalam rangka memperkuat ketahanan energi nasional.

Selaku Ketua Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), saya telah meminta agar kebijakan energi harus berpihak kepada masyarakat miskin dan rentan untuk mendorong keadilan terhadap akses energi dan pada akhirnya mendorong ketahanan energi nasional," kata Wapres.

Permintaan itu disampaikan karena dari subsidi gas elpiji di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 sebesar 40,3 triliun rupiah, dalam pendistribusiannya hanya 35 persen yang dinikmati oleh masyarakat miskin dan rentan, sedangkan 65 persen justru dinikmati oleh kelompok yang tidak layak mendapat subsidi.

Ironisnya lagi, masih banyak masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang seharusnya memanfaatkan subsidi tersebut justru menggunakan bahan bakar kayu dalam memasak sehari-hari.

"Meskipun sudah dialokasikan anggaran subsidi untuk menyediakan elpiji sampai 7,5 juta metrik ton untuk masyarakat, masih lebih dari 12,51 juta rumah tangga miskin dan rentan di Indonesia yang memasak menggunakan kayu bakar," kata Wapres.

Menanggapi perlunya mempertajam alokasi subsidi energi tersebut, Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, mengatakan subsidi elpiji dan bahan bakar minyak memang pelik karena belum ada aturan jelas mengenai batasan konsumen energi subsidi tersebut.

"Untuk gas elpiji 3 kilogram, hanya sebatas imbauan saja. Begitu juga untuk solar subsidi, yang mana justru banyak pengusaha angkutan umum yang menikmati. Hal ini bisa terjadi karena tidak ada ketegasan atau aturan yang jelas terkait penggunaan subsidi energi," tegas Mamit, di Jakarta, Selasa (2/2).

Di sisi lain, disparitas harga cukup tinggi, sehingga konsumen cenderung memburu elpiji dan solar subsidi. Bahkan untuk elpiji, banyak terjadi di pengecer, mereka menggunakan tabung subsidi dan disuntik ke tabung elpiji nonsubsidi dan dijual dengan harga komersial untuk mencari keuntungan. "Sinkronisasi data antara Kemensos, Badan Pusat Statistik dan TNP2K harus segera dilakukan agar datanya benar-benar valid," kata Mamit.

Mekanisme tersebut bisa dengan menggunakan kartu yang sudah ada seperti kartu Indonesia Sejahtera. Sedangkan untuk solar semestinya hanya untuk anggkutan umum saja, termasuk angkutan sembako.

Pakar kebijakan publik dari Universitas Airlangga, Gitadi Tegas, mengatakan, imbauan Wapres agar tabung gas bersubsidi lebih banyak diprioritaskan untuk kelompok masyarakat rentan perlu didukung. Supaya dalam penerapannya sesuai harapan, perlu pengawasan ketat dalam distribusi dan penjualan supaya tidak sampai bocor ke masyarakat menengah ke atas.

"Imbauan yang berbasis data ini perlu didukung, tetapi yang jadi persoalan nanti adalah implementasinya, karena banyak kejadian meskipun dibeli oleh masyarakat menengah ke atas, tetapi didiamkan saja," kata Gitadi.

Energi Baru Terbarukan

Selain perlunya subsidi energi yang tepat sasaran, Wapres juga menekankan pentingnya menghentikan penggunaan energi fosil dan secara bertahap beralih ke energi baru terbarukan yang sumbernya sangat potensial di dalam negeri.

Apalagi Indonesia dan Jerman sudah sepakat mendukung upaya transisi energi bersih melalui program Clean, Affordable, Secure Energy (CASE) di Asia Tenggara.

Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi, dan Informatika Kementerian PPN/Bappenas, Rachmat Mardiana, dalam lokakarya virtual program CASE mengatakan untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca nasional salah satunya dengan mengalihkan pembangkit listrik dari bergantung pada energi fosil ke energi baru terbarukan.

Sebab itu, dia berharap pada 2024 sebanyak 20 persen pembangkit listrik di Indonesia menggunakan energi baru dan terbarukan. Saat ini, pembangkit listrik, katanya, masih didominasi oleh energi fosil, terutama batu bara. n SB/ers/E-9


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top