Studi: Perubahan Iklim Membuat Badai Helene Semakin Dahsyat
Pemandangan udara bangunan yang hancur dan rusak akibat banjir akibat Badai Helene di Bat Cave, North Carolina pada Selasa (8/10).
Foto: istimewaWASHINGTON - Sebuah studi yang diterbitkan pada hari Rabu (9/10) oleh kelompok ilmiah World Weather Attribution (WWA), menyebutkan, perubahan iklim telah menyebabkan hujan deras dan angin kencang dalam Badai Helene menjadi sekitar 10 persen lebih kuat.
Dikutip dari The Straits Times, meskipun peningkatan 10 persen "mungkin tampak relatif kecil, perubahan kecil dalam bahaya tersebut benar-benar menyebabkan perubahan besar dalam dampak dan kerusakan," kata ilmuwan iklim, Friederike Otto, yang mengepalai organisasi penelitian tersebut.
WWA adalah kelompok ilmuwan dan ahli meteorologi internasional yang mempelajari peran perubahan iklim dalam peristiwa cuaca ekstrem. Studi tersebut menemukan bahan bakar fosil, penyebab utama perubahan iklim, telah membuat badai seperti Helene 2,5 kali lebih mungkin terjadi.
Dengan kata lain, badai sebesar Helene sebelumnya diantisipasi terjadi sekali setiap 130 tahun, tetapi sekarang kemungkinannya mendekati sekali setiap 53 tahun, secara rata-rata. Namun, penelitian ini dilakukan saat negara bagian Florida di tenggara AS bersiap menghadapi kedatangan badai besar lainnya, Milton, hanya 10 hari setelah dilanda Helene.
Menurut Pusat Badai Nasional, Milton, badai Kategori 5 maksimum, menghasilkan angin berkecepatan maksimum 270 kilometer/jam. Presiden AS, Joe Biden telah memohon kepada penduduk Florida untuk mengungsi dari Badai Milton, dengan peringatan badai tersebut dapat berubah menjadi bencana alam terburuk yang melanda negara bagian tersebut dalam satu abad.
Untuk melakukan studi terhadap Helene, para peneliti WWA berfokus pada tiga aspek badai yaitu curah hujan, angin, dan suhu air Teluk Meksiko, faktor utama dalam pembentukannya.
"Semua aspek dari peristiwa ini diperkuat oleh perubahan iklim pada tingkat yang berbeda-beda," kata Ben Clarke, salah satu penulis studi dan peneliti di Imperial College London, dalam konferensi pers.
"Dan kita akan melihat hal yang sama lagi seiring bumi terus menghangat," lanjutnya.
Helene menerjang daratan Florida barat laut pada 26 September sebagai badai Kategori 4 dengan kecepatan angin hingga 225 kilometer/jam.
Badai kemudian bergerak ke utara, menyebabkan hujan lebat dan banjir dahsyat di beberapa negara bagian, termasuk North Carolina, tempat badai ini menelan korban tewas tertinggi.
Penulis studi menekankan risiko yang ditimbulkan oleh badai telah meningkat cakupannya di luar wilayah pesisir.
"Helene sangat kuat sehingga butuh waktu untuk kehilangan kekuatannya, tetapi badai itu bergerak cepat sehingga bisa bergerak lebih jauh ke daratan dengan cukup cepat," kata Kepala Ahli Meteorologi Bernadette Woods Placky di LSM Climate Central.
Studi ini menggunakan tiga metodologi untuk meneliti tiga aspek badai, dan dilakukan oleh peneliti dari Amerika Serikat, Inggris, Swedia, dan Belanda.
Untuk mempelajari curah hujannya, para peneliti menggunakan pendekatan yang didasarkan pada observasi dan model iklim, tergantung pada dua wilayah yang terlibat yaitu satu untuk wilayah pesisir seperti Florida, dan satu lagi untuk wilayah pedalaman seperti pegunungan Appalachian.
Dalam kedua kasus tersebut, penelitian menemukan bahwa curah hujan meningkat hingga 10 persen karena pemanasan global, yang saat ini mencapai 1,3 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri. Ini adalah peningkatan suhu rata-rata global untuk permukaan planet di daratan dan lautan.
Untuk mempelajari angin Helene, para ilmuwan mengamati data badai yang berasal dari tahun 1900. Mereka menentukan angin Helene 11 persen lebih kuat, atau 21 kilometet/jam, sebagai akibat dari perubahan iklim.
Terakhir, para peneliti memeriksa suhu air di Teluk Meksiko, tempat Helene terbentuk, dan menemukan suhunya sekitar 2 derajat Celsius di atas normal. Rekor suhu ini terjadi 200 hingga 500 kali lebih mungkin terjadi akibat perubahan iklim, kata penelitian tersebut.
Lautan yang lebih hangat melepaskan lebih banyak uap air, menyediakan lebih banyak energi untuk badai saat terbentuk.
"Jika manusia terus membakar bahan bakar fosil, AS akan menghadapi badai yang lebih dahsyat lagi," ujar Clarke memperingatkan dalam sebuah pernyataan.
Redaktur: Marcellus Widiarto
Penulis: Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Indonesia Tunda Peluncuran Komitmen Iklim Terbaru di COP29 Azerbaijan
- 2 Sejumlah Negara Masih Terpecah soal Penyediaan Dana Iklim
- 3 Ini Kata Pengamat Soal Wacana Terowongan Penghubung Trenggalek ke Tulungagung
- 4 Penerima LPDP Harus Berkontribusi untuk Negeri
- 5 Ini yang Dilakukan Kemnaker untuk Mendukung Industri Musik
Berita Terkini
- Christian Sugiono Bangun Luxury Glamping di Tepi Danau
- KKP Perkuat Kerja Sama Ekonomi Biru dengan Singapura
- Berkaus Hitam, Pasangan Dharma-Kun Kampanye Akbar di Lapangan Tabaci Kalideres, Jakarta Barat
- IBW 2024, Ajang Eksplorasi Teknologi Blockchain Kembali Digelar
- Desa Energi Berdikari Pertamina di Indramayu Wujudkan Ketahanan Pangan dan Energi