Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Strategi Merawat Seni Tradisi sebagai Benteng Kebudayaan Nusantara

Foto : Istimewa

Para pembicara berfoto bersama dalam acara Mata Najwa on Stage bertajuk Panggung Warisan Budaya Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta pada hari Rabu, 11 Juli 2024. Pada kesempatan ini mereka memaparkan strategi revitalisasi seni tradisional sebagai benteng kebudayaan Nusantara.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Seni tradisional Indonesia, sebagai benteng kebudayaan Nusantara, semakin tergerus di tengah arus perubahan zaman. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbudristek RI), dari total 71 seniman budaya tradisional yang menerima penghargaan Anugerah Kebudayaan Indonesia, hanya 43 orang yang masih hidup dan tersebar di seluruh Indonesia.

Selain itu, minat generasi muda terhadap kesenian tradisional masih cukup rendah. Tanpa strategi budaya yang efektif, kesenian ini berisiko hilang ditelan zaman. Padahal, seni tradisional yang dikelola dengan baik adalah aset yang dapat mendorong kemajuan bangsa.

Keberagaman budaya dan kreativitas merupakan pendorong inovasi. Oleh karena itu, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan terus fokus mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan (UUPK), yang telah membawa transformasi signifikan dalam pengelolaan kebudayaan di Indonesia.

Eko Supriyanto, koreografer dan dosen tari dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, yang pada acara Mata Najwa On Stage bertajuk Panggung Warisan Budaya di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta pada hari Rabu, 11 Juli 2024 mengatakan, dukungan pemerintah untuk memajukan seni tradisional saat ini sudah sangat baik. Hal ini turut mengurangi keresahan yang sebelumnya dirasakan oleh pelaku seni dan budaya tradisional.

"Sebetulnya, saat ini kami sudah tidak resah. Kami yakin dengan adanya Direktorat Jenderal Kebudayaan yang dipimpin oleh Pak Hilmar (Dirjen Kebudayaan) dan Pak Mahendra (Direktur Perfilman) yang sangat mendukung, keresahan ini sudah berubah menjadi geliat yang menantang. Tradisi kita semakin baik," tuturnya pada kesempatan tersebut.

Salah satu nama besar di bidang seni tradisional lainnya adalah Didik Nini Thowok, yang telah berkarya hampir 50 tahun. Ia mengaku turut merasakan perubahan positif dari pengelolaan kebudayaan saat ini. Menurut dia kehidupan seni tradisional yang mengandalkan pertunjukan dari panggung ke panggung semakin terpuruk selama pandemi.

Ia sangat bersyukur dengan program-program dari Direktorat Jenderal Kebudayaan yang tidak hanya menghidupkan kesenian tradisional. Lebih jauh dari itu juga membantu perekonomian pelaku seni budaya tradisional.

"Pada saat pandemi, saya Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia sempat jatuh, tapi berkat program-program dari Pak Dirjen, saya diberikan kesempatan untuk terus berkarya," tuturnya.

Didik, yang telah berkarya selama 49 tahun, telah meraih berbagai penghargaan baik di tingkat lokal maupun internasional. Program-program seperti Dana Indonesiana dan Pekan Kebudayaan Nasional telah mengaktifkan peran pemerintah sebagai fasilitator, meningkatkan kualitas tata kelola layanan kebudayaan, membuka akses dan menjamin pemerataan kesempatan, serta mendorong inovasi dan partisipasi publik dalam pemajuan kebudayaan.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek RI, Hilmar Farid, memaparkan, dalam mengelola kebudayaan, perencanaan kebijakan kini bersifat partisipatif, melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan secara langsung (bottom-up). Pemerintah beralih peran dari eksekutor menjadi fasilitator, mendukung inisiatif dan aspirasi masyarakat dalam memajukan kebudayaan.

Fokus intervensi kebijakan juga bergeser dari yang semula terpaku pada cabang-cabang budaya tertentu, menjadi pendekatan holistik pada ekosistem kebudayaan secara keseluruhan. Hal ini memastikan keberlanjutan setiap praktik dan ekspresi budaya yang ada.

Ia menambahkan, seni tradisi seringkali bukan sekadar tontonan, melainkan bagian dari ritual dengan makna yang mendalam. Menurutnya, ketika masyarakat bergerak menuju modernitas, praktik spiritual dan kultural ini cenderung memudar, membuat apresiasi terhadap seni tradisi menjadi sulit.

"Solusinya adalah memperbarui atau memodifikasi seni tradisi agar lebih mudah diakses. Misalnya, menghadirkan versi ringkas dari tarian panjang tanpa menghilangkan maknanya," katanya yang disampaikan melalui siaran pers pada hari Rabu (17/7).

Ia menilai penting untuk memasukkan seni tradisi dalam pendidikan, agar masyarakat memahami bahwa ini bukan hanya tontonan, tetapi bagian dari praktik kultural dan spiritual. Edukasi semacam ini penting untuk mengurangi kesenjangan apresiasi seni tradisi.


Redaktur : Aloysius Widiyatmaka
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top