Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Sosok Multatuli dalam Puisi

A   A   A   Pengaturan Font

Bagi orang-orang yang terlalu percaya hanya ada satu kebenaran di muka bumi, maka kejadian ini akan menjadi malapetaka. Tapi dalam dunia sastra, multi-interpretasi sudah biasa (hal xvii). Namun, buku antologi puisi ini sedikit banyak mencoba meluruskan pandangan yang menyamakan antara Eduard Douwes Dekker dan Ernest Douwes Dekker atau yang lebih dikenal dengan Danudirja Setiabudhi. Kedua tokoh tersebut berbeda dan peran dalam sejarah pun demikian.

Selain memiliki penafsiran berbeda tentang Multatuli, para penyair pun menyajikan puisi-puisi dengan beragam aliran. Ada yang menulis puisi imajis, ekspresionis, impresionis, realisme, romantisme, naturalisme, deskriptif, dan lirik.

"Bukankah kau diutus ke hindia/sebab mengantongi nama raja?/bermil-mil berkendara gelombang/sampai di batavia kau pun gamang/inikah negeri jajahan, 30 juta lebih/disiksa atas nama raja yang mulia (puisi Kepada Toean Dekker). "Merenungi benda-benda kenangan/ Membaca kisah demi kisah silam/ Sejarah selalu berputar kembali//.... (puisi Multatuli).

"Kamar Au Prince Belge/ Pernah menyaksikan engkau/ mencatat perjalanan menjejak/ Hindia Belanda yang kelaparan/ Dari kesuburan tanahnya//..." (puisi Sebuah Kamar di Brussel Belgia). "Salju musim dingin benar-benar telah meleleh. Di kota/ Amsterdam suara anti kolonialisme bersemi seperti mekar/ Bunga tulip. Max Havelaar mencium nurani" (puisi Kopi Amsterdam).

Setiap pilihan aliran gaya penulisan tersebut memiliki keunggulan masing-masing yang tak harus dibandingkan satu dengan lainnya. Karena itu, antologi puisi ini bukan saja kumpulan penyair Nusantara, tapi juga himpunan aliran gaya penulisan puisi yang kaya dengan idiom-idiom dan diksi. Multatuli sendiri pun belum menuliskannya dalam novelnya, sekalipun dia menuliskan pula puisi di dalamnya.
Halaman Selanjutnya....

Komentar

Komentar
()

Top