Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Sosok Multatuli dalam Puisi

A   A   A   Pengaturan Font

Judul : Kepada Toean Dekker

Penulis : Isbedy Stiawan ZS, dkk

Tebal : xxxvii + 349 halaman

Penerbit : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lebak

Cetakan : Pertama, September 2018

ISBN : 978-602-52709-0-1

Buku Kepada Toean Dekker merupakan antologi puisi para penyair Nusantara dalam "Festival Seni Multatuli 2018" Program Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak bekerja sama Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Platform Kebudayaan Indonesiana.

Puisi-puisi yang terhimpun di dalamnya ditulis 142 penyair dengan jumlah 203 puisi bertemakan atau mengambil inspirasi dari Multatuli dan novel Max Havelaar.

Pembaca diajak kembali melihat sejarah hitam menggenang dalam gelas penjajahan lalu mencicipi pahit dan manisnya sebuah kenyataan dari perjuangan seorang Multatuli atau Eduard Douwes Dekker melalui novelnya Max Havelaar. Penjajahan suatu bangsa berkaitan erat dengan penghisapan antarsesama anggota dari suatu bangsa.

Pertama ada kolonialisme dan kedua feodalisme. Kesadaran itu pertama kali muncul dalam sastra. Multatuli adalah orang pertama yang menggarisbawahi ketersambungan keduanya (hal v-vi). Tentu akan ditemukan berbagai interpretasi yang berbeda dari tiap-tiap penyair dalam penulisan. Ada yang menganggap Multatuli sebagai pahlawan. Ada pula yang menjadikannya tetap sebagai penjajah. Ada yang mengeksplorasi romantik-tragis kisah Saidjah dan Adinda, bahkan ada yang menggugat Multatuli. Sebagaimana di negaranya, Belanda, Multatuli pun sosok yang memiliki dua penafsiran: protagonis dan antagonis.

Bagi orang-orang yang terlalu percaya hanya ada satu kebenaran di muka bumi, maka kejadian ini akan menjadi malapetaka. Tapi dalam dunia sastra, multi-interpretasi sudah biasa (hal xvii). Namun, buku antologi puisi ini sedikit banyak mencoba meluruskan pandangan yang menyamakan antara Eduard Douwes Dekker dan Ernest Douwes Dekker atau yang lebih dikenal dengan Danudirja Setiabudhi. Kedua tokoh tersebut berbeda dan peran dalam sejarah pun demikian.

Selain memiliki penafsiran berbeda tentang Multatuli, para penyair pun menyajikan puisi-puisi dengan beragam aliran. Ada yang menulis puisi imajis, ekspresionis, impresionis, realisme, romantisme, naturalisme, deskriptif, dan lirik.

"Bukankah kau diutus ke hindia/sebab mengantongi nama raja?/bermil-mil berkendara gelombang/sampai di batavia kau pun gamang/inikah negeri jajahan, 30 juta lebih/disiksa atas nama raja yang mulia (puisi Kepada Toean Dekker). "Merenungi benda-benda kenangan/ Membaca kisah demi kisah silam/ Sejarah selalu berputar kembali//.... (puisi Multatuli).

"Kamar Au Prince Belge/ Pernah menyaksikan engkau/ mencatat perjalanan menjejak/ Hindia Belanda yang kelaparan/ Dari kesuburan tanahnya//..." (puisi Sebuah Kamar di Brussel Belgia). "Salju musim dingin benar-benar telah meleleh. Di kota/ Amsterdam suara anti kolonialisme bersemi seperti mekar/ Bunga tulip. Max Havelaar mencium nurani" (puisi Kopi Amsterdam).

Setiap pilihan aliran gaya penulisan tersebut memiliki keunggulan masing-masing yang tak harus dibandingkan satu dengan lainnya. Karena itu, antologi puisi ini bukan saja kumpulan penyair Nusantara, tapi juga himpunan aliran gaya penulisan puisi yang kaya dengan idiom-idiom dan diksi. Multatuli sendiri pun belum menuliskannya dalam novelnya, sekalipun dia menuliskan pula puisi di dalamnya.

Sebenarnya, antologi puisi ini juga menggugah, "Tugas manusia adalah menjadi manusia" (Multatuli). Seperti dikatakan Hilmar Farid Ph.D, buku puisi ini disusun sebagai persembahan pada ingatan bersama akan Multatuli. Ia dikenal sebagai seorang pengarang prosa, bukan penyair.

Namun, di dalam prosanya, pembaca temukan juga puisi bangsa yang tertindas: suasana batin rakyat kecil yang mengalami penjajahan berlapis. Puisi sejarah inilah yang menjadikan Max Havelaar dengan mudah menjadi rujukan bagi setiap penyair yang mau mengambil posisi kritis terhadap warisan kolonialisme.

Diresensi Faris Al Faisal, Pegiat Dewan Kesenian Indramayu

Komentar

Komentar
()

Top