Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Revisi UU

Soal Penyadapan, Kejaksaan Rentan Langgar HAM

Foto : Antaranews

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Kewenangan kejaksaan terkait penyadapan dalam revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, rentan terhadap penyalahgunaan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Sinyalemen ini dikemukakan peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi, menilai dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi III DPR, Jakarta, Rabu (17/11).


Dia menilai, Pasal 30c huruf k RUU Kejaksaan yang memasukkan kewenangan penyadapan, sangat rentan terhadap penyalahgunaan dan pelanggaran HAM. Dalam Pasal 30c huruf (k) disebutkan bahwa "Kejaksaan berwenang melakukan penyadapan dan menyelenggarakan pusat pemantauan di bidang tindak pidana."


Menurut Fajri, perlu ada batasan yang sangat jelas dan tegas. Juga prosedur yang terukur serta dibatasi dalam lingkup penegakan hukum atas kewenangan penyadapan tersebut. Ia menawarkan opsi terkait kewenangan penyadapan tersebut. Pertama, pengaturannya dilengkapi mulai dari penggunaan, prosedur, hingga keterlibatan lembaga terkait.


Kedua, menyelesaikan dulu RUU Penyadapan karena bagian dari amanat putusan MK di mana penyadapan harus diatur dalam konteks undang-undang. Maka, dia menyarankan agar konsepsi penyadapan dalam RUU Penyadapan diselesaikan dulu. Perdebatannya bukan dalam konteks siapa yang memiliki wewenang menyadap, melainkan bagaimana prosedur, dampak, dan batasannya dalam kewenangan penyadapan.

Tidak Relevan
Fajri juga menyoroti pemberian kewenangan pada kejaksaan dalam pengawasan multimedia seperti diatur dalam Pasal 30b huruf (f). Dia menilai, tidak relevan dilekatkan pada institusi penegak hukum tersebut. Pasal 30b huruf (f) menyebutkan bahwa dalam intelijen penegakan hukum, kejaksaan berwenang melakukan pengawasan multimedia.


Menurut dia, kewenangan pengawasan multimedia tidak relevan. Sebab mekanisme pengawasan sudah dibangun tersendiri berdasarkan lembaga seperti Dewan Pers atau Komisi Penyiaran Indonesia.
"Kami menilai perkembangan lebih cepat ada di UU Sistem Perbukuan Nomor 3 Tahun 2017 yang sudah memiliki mekanisme pengawasan sendiri. Kejaksaan dilibatkan dalam konteks penegakan hukum, bukan pengawasan seperti selama ini dijalankan," ujarnya.


Fajri melihat keterlibatan kejaksaan dalam penindakan terhadap konten multimedia harus dalam penegakan hukum.


Redaktur : Aloysius Widiyatmaka
Penulis : Antara, Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top