Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Kamis, 04 Agu 2022, 00:04 WIB

Siklus Inflasi Tinggi Berpotensi Terulang

Foto: Sumber: Bank Indonesia - KJ/ONES

» Kalau tidak hati-hati mengelola produksi pangan nasional dan terus mengandalkan impor, bukan tidak mungkin inflasi akan tiba-tiba melesat.

» Untuk mengendalikan inflasi harus menaikkan suku bunga dan menjaga daya beli.

JAKARTA - Tren inflasi nasional yang cenderung meningkat akibat kenaikan harga barang dan jasa diperkirakan bisa mengulang siklus inflasi pada 2013 dan 2014 yang menukik ke level 8 persen lebih. Siklus tersebut menunjukkan sebelum melesat ke level 8 persen, inflasi pada beberapa tahun cenderung terkendali di level 3 persen, lalu bergerak ke level 4 persen.

Guru Besar Ekonomi Pertanian dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dwijono Hadi Darwanto, mengatakan pemerintah harus mewaspadai masa panen padi gadu pada periode Agustus- Desember karena bisa saja menambah peliknya masalah harga pangan saat ini.

Kalau tidak hati-hati mengelola produksi pangan nasional dan masih terus mengandalkan impor, bukan tidak mungkin inflasi akan tiba-tiba melesat karena masalah stok pangan internasional saat ini berbeda situasinya dengan yang terjadi pada 2013-2014 lalu. Saat ini jauh lebih pelik.

"Hari ini sebabnya kan perang yang tidak hanya menekan pangan, tapi juga energi. Energi itu selain pengaruh langsung ke konsumsi, juga mendongkrak harga pertanian karena pengaruh dari pupuk yang diproduksi dari gas dan juga dari biaya distribusi," kata Dwijono saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (3/8).

Indonesia saat ini memasuki musim kemarau yang setiap tahun selalu akan menekan stok dalam negeri terutama beras. Padi gadu (masa paceklik panen) yang ditambah kelangkaan pupuk dan tekanan harga BBM tentu akan membuat rentetan masalah di pertanian desa.

"Cabai sampai sekarang masih mahal. Bawang, beras, sama saja belum aman. Apalagi gandum, kita impor 100 persen. Inilah pentingnya kita segera diversifikasi konsumsi pangan agar tidak terlambat," kata Dwijono.

Diversifikasi, katanya, sangat penting untuk mengalihkan selera masyarakat dari produk gandum yang hanya bisa didapat dari impor. Tanpa perubahan selera di masyarakat, sulit bagi negara ini lepas dari kebergantungan pada impor.

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform Economics (CORE), Mohammad Faisal, menyatakan bahwa inflasi pada tahun ini akan melewati prediksi terakhir BI yang mencapai 5 persen.

"Saya kira akan bertengger di angka 6 persen dan bisa memburuk tahun depan karena bantalan subsidi yang diambil dari pendapatan ekspor komoditas andalan diperkirakan harganya turun tahun depan," katanya.

Hingga saat ini, pemerintah memang menegaskan akan mempertahankan subsidi pada bahan bakar minyak, listrik, dan gas elpiji untuk mengendalikan inflasi, termasuk memberi bantuan sosial.

Namun, kekuatan pemerintah menahan subsidi tersebut bisa tergerus jika harga komoditas turun dan itu diperkirakan akan terjadi pada tahun depan.

"Sekarang, APBN bahkan masih surplus. Sampai Juni surplus 73,6 triliun rupiah, padahal tahun lalu sampai Juni defisit 283 triliun rupiah. Tahun ini targetnya sampai akhir tahun kan defisit 4,85 persen dari PDB, jadi masih aman untuk subsidi. Karena APBN dapat windfall lonjakan harga komoditas sehingga penerimaan juga mengalami lonjakan besar. Nah, tahun depan? Bisa berat," papar Faisal.

Sementara itu, Pakar Ekonomi dari Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI), Surabaya, Leo Herlambang, memperkirakan lonjakan inflasi RI sangat bergantung dari sejumlah faktor seperti kecukupan devisa, ketersediaan barang kebutuhan, tingkat suku bunga, dan investasi asing.

Menaikkan Suku Bunga

Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan secara teori, untuk mengendalikan inflasi harus menaikkan suku bunga. Namun demikian, di sisi lain harus ada upaya penguatan daya beli. Selain itu, perusahaan-perusahaan juga harus melakukan mitigasi risiko, agar produknya tetap terjangkau oleh konsumen.

Menurut dia, efisiensi harus dilakukan agar biaya produksi lebih rendah dan harga produk lebih murah sehingga kompetitif di pasar. "Ini tentunya berpengaruh dalam perekonomian kita, jangan sampai sektor riil lesu," kata Esther.

Di sektor keuangan, kenaikan suku bunga harus dilakukan hati-hati karena akan berdampak pada cost of capital, sehingga ada sensitivitas harga yang akhirnya mengarah ke resesi.

Redaktur: Vitto Budi

Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.