Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Setop Penyerangan

A   A   A   Pengaturan Font

Bangsa ini belum berhenti berduka karena serangan bom Surabaya yang dilakukan teroris yang tidak bisa menerima perbedaan. Para teroris itu jelas antitoleransi. Mereka intoleran. Serangan intoleransi menggunakan bom itu mematikan orang-orang yang tengah berdoa di rumah Tuhan. Maka, amat besar dosa mereka dan mungkin tak terampuni. Suasana duka atas puncak intoleransi itu belum reda, kini sudah muncul lagi tindakan antitoleransi yang tidak menerima berbedaan.

Penyerangan, perusakan, dan pengusiran adalah sebuah teror paling kejam. Itulah yang dialami Jemaah Ahmadiyah di Dusun Grepek Tanak Eat, Desa Greneng, Kecamatan Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur, NTB, Sabtu (19/5) dan Minggu (20/5). Penyerangan orang-orang intoleran itu terjadi tiga kali. Massa menghancurkan tempat tinggal, barang-barang, dan kendaraan. Bahkan, tindakan tidak manusiawi paling kejam adalah pengusiran dari rumah sendiri.

Gerakan Pemuda Ansor menyebut penyerangan pada jemaah Ahmadiyah ini sebagai bentuk teror. Karena itu, GP Ansor mengutuk keras penyerangan tersebut. "Kami mengutuk keras tindakan teror, perusakan, dan pengusiran atas warga Ahmadiyah," kata Sekretaris Jenderal PP GP Ansor, Adung Abdul.

Apalagi, kata Adung, penyerangan tersebut dilakukan di tengah suasana bulan suci Ramadan. Menurutnya, Ramadan mestinya diisi dengan ibadah, bukan hanya menahan lapar dan dahaga. Ramadan juga perlu diisi dengan menjaga harmoni kehidupan yang penuh cinta kepada sesama. Ramadan mesti jauh dari perilaku destruktif dan kebencian. Adung minta aparat mengusut kasus penyerangan disertai perusakan rumah dan pengusiran tersebut. Menurutnya, massa menyerang dan merusak karena sikap kebencian dan intoleransi pada paham keagamaan yang berbeda.

Gubernur NTB, TGB Zainul, menjanjikan mengusut tuntas penyerangan dan perusakan yang menimpa jemaat Ahmadiyah di Lombok Timur ini. Sebab, menurutnya, ini bukan saja merusak perdamaian yang selama ini telah berusaha diwujudkan pemerintah, tapi juga melanggar hukum. Zainul mengatakan, mereka sebetulnya selama ini sudah hidup damai. Pasti ada provokatornya karena hanya masalah sepele sebabnya. Sejauh ini, info penyebabnya hanya karena saling olok anak-anak.

Sementara itu, Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, menyesalkan penyerangan dan kekerasan pada Ahmadiyah di awal Ramadan. Kasus teror terhadap Ahmadiyah ini menambah panjang daftar kekerasan atas nama aliran atau agama. Dia menegaskan, kasus ini tidak dapat dibenarkan atas dasar alasan apa pun. Komnas HAM mengutuk keras kekerasan pada sahabat-sahabat Ahmadiyah di Lombok Timur.

Di tengah suasana khusyuk ibadah puasa Ramadan yang seharusnya damai, menjaga jauh dari amarah dan kebencian pada sesama, sekelompok massa justru menodai kesucian Ramadan dengan menyerang, merusak, dan mengusir sesama warga negara. Lalu, di mana aparat saat terjadi penyerangan, perusakan, dan pengusiran? Mengapa dalam banyak kasus terkait Ahmadiyah, massa selalu berhasil bertindak brutal dan sukses mengusir sesama? Apalagi di Lombok ini terjadi tidak sekaligus, tetapi tiga kali? Sangat disayangkan keterlambatan atau kelambanan aparat mencegah kekerasan. Kalau benar penyerangan dari Sabtu sampai Minggu, sangat tidak bisa dibenarkan aparat sampai gagal mencegah pengusiran dan pengrusakan karena waktunya lama.

Siapa pun dan atas alasan apa pun tidak ada yang berhak mengusir. Semua warga berhak tinggal di bumi Indonesia, apa pun agama dan alirannya. Tidak ada yang berhak mengusir sesama dari rumahnya, apa pun alasan dan agamanya. Negara tidak mampu melindungi warganya adalah fatal. Lalu, siapa yang harus melindungi, kalau negara gagal? Presiden Joko Widodo harus memerintahkan Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk mengevaluasi dan memberi sanksi bawahan yang bertanggung jawab. Kalau lalai atau membiarkan, Tito harus memberi sanksi hukum yang tegas kepada bawahan.

Komentar

Komentar
()

Top