Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Senyum Merekah para Ibu di Kampung Jahit Pasar Ambacang

Foto : Antara
A   A   A   Pengaturan Font

Padang- Hampir seharian menunggu, Surya nyaris putus asa karena dari pagi belum ada satu pun pesanan dari pelanggan sementara tiga jam lagi waktu berbuka puasa akan menjelang.

Warga Pisang, Kecamatan Pauh, Kota Padang itu sudah setahun menjalani profesi sebagai pengendara ojek daring untuk menghidupi istri dan empat anaknya.

Hari itu benar-benar "anyep", istilah sepi orderan di kalangan pengemudi ojek daring akibatpandemi Corona Virus Disease (COVID-19) saat Ramadhan 2020.

Guna mencegah penularan COVID-19 Pemerintah Kota Padang memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) selama tiga tahap sejak 22 April hingga 7 Juni 2020.

Praktis penerapan PSBB membuat Surya dan rekan lainnya tak bisa mengangkut penumpang dan hanya dapat melayani pembelian makanan secara daring atau pengantaran barang.

Hari itu ia masih beruntung karena satu jam menjelang Maghrib ia masih mendapatkan satu orderan pembelian makanan. Itu lebih baik ketimbang tak membawa uang pulang sama sekali.

Wabah COVID-19 tak hanya memporak-porandakan kesehatan tubuh, namun juga kesehatan perekonomian rumah tangga Surya dan pengendara ojek daring lainnya.

Namun Surya beruntung karena istri tercinta Fahmera Erdawati (34) punya pekerjaan sampingan menjadi mitra jahit Maharrani merek dan produsen busana muslimah, yang berpusat di Padang memproduksi jilbab, gamis, mukenah hingga masker.

Usai mengantarkan pesanan jahitan sore itu, sosok yang disapa Era pulang dengan senyum mengembang. Di tangannya ada sedikit upah hasil jahitan hari itu pembeli makanan untuk dimasak, sebagai hidangan berbuka keluarga kecilnya di hari itu.

Dalam sepekan Era mampu menyelesaikan minimal 15 helai gamis dengan upah per potong Rp25 ribu yang artinya dalam satu minggu ia bisa menghasilkan paling kurang Rp375 ribu hingga Rp500 ribu.

Untuk menyelesaikan pesanan ia pun tak perlu keluar rumah, cukup mengerjakan di rumah saja bermodalkan mesin jahit dan keterampilan dasar yang dulu diperoleh saat sekolah di SMK 6 Padang.

Semua bahan mulai dari kain, benang sudah disiapkan dan dipotong. Era tinggal menyatukan dan menjahit sesuai dengan pola yang telah dibuat, pagi dijemput sore sudah selesai diantar dan terima uang.

Sebelumnya Era di rumah hanya menerima reparasi pakaian dan celana di rumah namun pelanggan tak menentu kadang ada kadang tiada.

Namun sejak menjadi mitra jahit Maharrani, Era bisa melakoni aktivitas jahit di rumah dengan target yang jelas dan penghasilan terukur, sembari tetap bisa mengurus rumah, mengasuh anak hingga memasak untuk keluarga.

Era memutuskan menjadi mitra jahit Maharrani setelah mendapatkan info dari tetangga bahwa Elsa Maharani pemilik usaha Maharrani tengah mencari mitra jahit.

Ia melamar pada April 2020 dan setelah dites kemampuan menjahit dinilai cukup baik dan langsung diberikan orderan.

"Iyo tatalong bana pas bulan puaso patang, apolai uda indak ado orderan, (benar-benar tertolong saat bulan puasa kemarin, apalagi suami tidak ada orderan)," kata Era.

Era bersyukur di tengah pandemi yang sulit dengan keterampilan jahit yang dimiliki dan menjadi mitra Maharrani membuat dapurnya tetap mengepul.

Lain lagi kisah Asra Rasyid janda tiga anak yang sejak dua bulan terakhir juga bergabung menjadi mitra jahit Maharrani.

Warga Simpang Malintang, Pasar Ambacang, Kecamatan Kuranji, Padang itu sebelumnya berprofesi sebagai penjahit obras di Pasar Raya Padang.

Sebagai tulang punggung keluarga yang menghidupi tiga anak selepas suaminya tiada, Asra mendapat informasi dari ketua RT kalau Maharrani tengah mencari mitra jahit.

Ia pun melamar dan dari hasil tes jahitannya dinilai rapi langsung diberikan orderan. Dalam sepekan ia mampu menyelesaikan setidaknya 20 helai pakaian atau paling kurang 80 helai per bulan.

Tak mau ketinggalan, anak kedua Asra, Miftahul Riska Zahra pelajar SMAN 9 Padang juga ikut menjadi mitra dengan mengerjakan pembuatan masker Maharrani.

Saat pandemi permintaan masker kain meningkat. Peluang itu ditangkap oleh Maharrani. Dalam sehari Miftahul mampu mengerjakan hingga 50 potong masker dengan upar Rp2.000 per masker atau Rp100 ribu per hari.

Miftahul termotivasi bekerja membantu ibunya karena ingin memiliki sepeda motor yang akan dikendarai ke sekolah.

Hampir semua teman menunggang motor ke sekolah. Kini tabungannya sudah mulai terkumpul dan motor impiannya segera terwujud dari hasil jerih payah keringat sendiri.

Miftahul bekerja usai belajar daring hingga pukul 17.00 WIB. Pada akhir pekan pun ia tetap memilih memotong, menggunting hingga menjahit masker yang dipelajari sendiri.

Demikian juga dengan Susi Mainiati, warga setempat yang sebelumnya berprofesi sebagai penjahit di Pasar Raya Padang.

Kini ia punya waktu lebih banyak di rumah sembari tetap dapat pemasukan karena cukup menjahit dari rumah dengan mengerjakan pesanan dari Maharrani.

Ibu dua anak itu dapat mengerjakan pesanan hingga 30 helai pakaian per pekan dengan penghasilan dapat mencapai dia atas Rp2 juta per bulan.

Penghasilan tambahan itu cukup menunjang ekonomi rumah tangga Susi karena suaminya hanya seorang kuli bangunan.

"Alhamdulillah bagaji paling kurang Rp500 ribu saminggu lah lumayan (alhamdulilah bergaji Rp500 ribu per pekan sudah lumayan)," ujar Susi.

Fahmera, Asra dan Susi adalah potret ibu rumah tangga yang ekonominya menjadi terberdayakan sejak kehadiran Maharrani.

Setidaknya saat ini terdapat 31 ibu di Kelurahan Pasar Ambacang dan sekitarnya yang menjadi mitra jahit Maharrani.

Kelurahan Pasar Ambacang berada di Kecamatan Kuranji yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Pasar Raya Padang. Sebagian besar masyarakat berprofesi sebagai petani, pemecah batu kali, kuli hingga pengendara ojek daring.

Berkat kehadiran Maharrani deru mesin jahit terdengar di rumah-rumah, para ibu setempat lebih bergairah karena punya tambahan penghasilan penambah belanja dapur dan mengangkat status sosial ekonomi.

Kampung Jahit

Bermanfaat dan memberikan kemaslahatan bagi orang banyak menjadi filosofi yang dianut Elsa Maharani saat memutuskan untuk mendirikan usaha yang dinamai Maharrani.

Meski terbilang muda, perempuan kelahiran Padang, 5 Maret 1990 yang kini berusia 30 tahun punya visi bisnis tak sekadar memberikan keuntungan bagi diri sendiri namun harus dinikmati orang banyak.

"Baraia sawah di ateh, lambok sawah di bawah," (berair sawah di atas, lembab sawah di bawah) demikian pepatah Minang yang jadi sandaran saat mendirikan usaha produsen busana muslimah pada 2018 tersebut.

Lulusan prodi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas Padang itu ternyata mencoba mengamalkan salah satu ilmu yang diperoleh di bangku kuliah. Salah satu faktor yang menentukan derajat kesehatan masyarakat adalah ekonomi keluarga.

"Nah sekarang saya mencoba memperbaiki ekonomi warga agar derajat kesehatan dan sosial ekonomi meningkat lewat usaha ini," ujarnya.

Elsa memulai usaha busana muslimah pada 2016. Sebagai ibu rumah tangga, istri dari Fajri Gufran Zainal itu memilih berjualan hijab sejumlah merek ternama di Tanah Air di marketplace bukalapak dan tokopedia.

Dalam waktu dua tahun penjualannya terbilang baik dan berhasil jadi distributor 17 merek busana muslimah serta memiliki 120 reseler tanpa perlu punya toko dan cukup berjualan dari rumah saja

Pada 2018 suaminya punya ide mengapa tidak memproduksi busana muslimah dengan merek sendiri dan kemudian menjualnya, apalagi penjualan istrinya bagus dengan jaringan yang banyak.

Kendati sebelumnya belum pernah punya pengalaman dan ilmu soal menjahit hingga desain, dengan tekad kuat Elsa terus belajar dan menjajaki rantai produksi didukung penuh suami tercinta.

Pemasok bahan sudah oke, namun ia masih berpikir siapa yang akan menjahit. Sempat terlintas akan memproduksi di Jawa tapi setelah dipertimbangkan karena ia di Padang kejauhan.

Ia pun bertemu dengan seorang penjahit kampung yang ada di belakang rumahnya dan menawarkan menjahit busana muslimah pesanannya.

Tepat Desember 2018 memakai merek Maharrani mengawali produksi dengan membuat 12 helai gamis.

Elsa terus mencari ibu-ibu sekitar rumahnya yang mau menjahit. Bagi yang sudah punya mesin tinggal diberi bahan dan mengerjakan sesuai pesanan, jika tidak ia mengirim mesin jahit.

Usaha itu terus berkembang, ia juga bertemu dengan mahasiswa Universitas Negeri Padang jurusan tata busana yang ditugaskan mengelola konsep produksi.

Karena permintaan terus meningkat ia menggagas ide kampung jahit dengan menawarkan kemitraan pada ibu rumah tangga setempat.

Konsepnya setiap mitra diberi upah langsung per helai pakaian yang dijahit, pagi dijemput sore kalau sudah selesai diantar dan cukup dikerjakan di rumah masing-masing.

Dengan demikian para ibu rumah tangga tetap bisa mengurus rumah, memasak dan mengasuh anak tanpa perlu bekerja di luar rumah.

"Bahan pakaian, benang, semua dari kita, mesin kalau ada pakai sendiri, kalau tidak punya dibelikan tapi nyicil dari upah yang diberikan," katanya.

Elsa punya cita-cita merekrut 1.000 mitra jahit dan ia bersyukur punya suami yang selalu mendukung setiap langkahnya.

Melihat ekonomi ibu rumah tangga setempat bangkit menjadi pelecut semangat baginya, agar produk Maharrani bisa lebih maju dan menghidupi banyak penjahit sehingga bermanfaat bagi orang sekitar.ant/P-4


Redaktur : Khairil Huda
Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top