Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Imbal Hasil

Sentimen Negatif Pengaruhi Penerbitan SBN

Foto : AFP/Kazuhiro NOGI

NIKKEI TURUN - Pejalan kaki berdiri di depan papan indikator harga saham di Bursa Saham Tokyo, Jepang, Senin (13/8). Indeks harga saham Nikkei Tokyo turun hampir dua persen terdampak penurunan nilai tukar mata uang Turki, lira, akibat ketegangan antara Ankara dan Washington yang memicui kekhawatiran ketidakstabilan keuangan yang lebih luas.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) selama semester pertama 2018 hanya mencapai 293 triliun rupiah, lebih rendah dari target 345 triliun rupiah. Hal ini disebabkan banyaknya sentimen negatif global hingga membuat rupiah melemah sehingga meningkatkan ketidakpastian pasar dan mendorong investor untuk meminta imbal hasil tinggi dalam lelang SBN.

Director and Chief Investment Officer - Fixed Income PT Manulife Asset Management (MAMI), Ezra Nazula, mengatakan dengan mempertimbangkan cost of fund yang harus diemban, tentu saja pemerintah tidak selalu bisa mengabulkan tingkat imbal hasil yang diminta, alhasil SBN yang diserap investor pun turun.

Positifnya adalah di tahun ini ternyata pendapatan negara diperkirakan lebih tinggi dari perkiraan awal, karena didukung oleh pendapatan dari sumber daya alam yang meningkat dan juga efek perluasan basis pajak yang menambah pendapatan pajak. Dengan pendapatan yang lebih tinggi, pemerintah menurunkan proyeksi defisit anggaran dari 2,19 persen dari PDB menjadi 2,12 persen dari PDB, dan otomatis target penerbitan SBN tahun ini juga dikurangi dari 822 triliun rupiah menjadi 799 triliun rupiah.

"Perkembangan ini positif bagi pasar obligasi karena akan mengurangi supply pressure dari penerbitan SBN di semester dua ini. Selain itu pemerintah juga dapat menggunakan fasilitas bilateral loan sebagai sumber pembiayaan untuk mengurangi ketergantungan dari penerbitan SBN," kata Ezra, Senin (14/8).

Dari sisi fundamental Indonesia, beberapa faktor tidak berubah dan tetap menopang daya tarik pasar obligasi Indonesia, seperti perekonomian yang tetap menunjukkan tren perbaikan dan inflasi yang terjaga. Dari sisi kondisi pasar obligasi sendiri, kepemilikan asing atas obligasi yang dapat diperdagangkan sudah turun dari level tertinggi sekitar 41 persen ke kisaran 37 persen saat ini sehingga potensi tekanan jual asing menjadi lebih terbatas.

Daya Tarik

Selain itu selisih imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia dan US Treasury tenor 10 tahun -- yang paling umum menjadi acuan -- juga melebar ke kisaran 480 basis poin (bps), lebih tinggi dari rata-rata satu tahun pada level 420 bps, artinya secara relatif obligasi Indonesia saat ini undervalued, terlalu murah, tidak berada di level fair value yang seharusnya.

"Jika bicara imbal hasil, sangat jelas daya tarik obligasi Indonesia. Bandingkan saja, misalnya, dengan imbal hasil obligasi Jepang atau Eropa yang bahkan tidak mencapai 1 persen," imbuhnya. Menurut Ezra, investor asing semakin yakin berinvestasi pada obligasi Indonesia adalah stabilitas nilai tukar rupiah. "Ini yang masih menjadi pekerjaan rumah.

Tetapi untungnya Bank Indonesia terlihat sangat proaktif dan melakukan upaya preemtif untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Stabilitas rupiah adalah katalis yang sangat penting yang dinantikan pasar."

yni/AR-2

Penulis : Yuni Rahmi

Komentar

Komentar
()

Top