Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Semoga Cepat Terwujud Perdamaian yang Menenangkan, Melihat Perang Ukraina dari Sikap Sejumlah Negara Tetangga Russia

Foto : ANTARA/Jafar Sidik

Salah satu sudut Kota Tua Vilnius, Lithuania, yang dipenuhi resto, cafe dan bangunan eksotis,pada 8 Desember 2022. Jajak pendapat DG COMM's Public Opinion Monitoring Unit pada Oktober 2022 menunjukkan Lithuania menjadi negara yang memandang Russia sebagai ancaman bagi keamanan nasionalnya.

A   A   A   Pengaturan Font

Semua pihak terkait harus membantu mengatasi invasi, begini perang Ukraina dari sikap sejumlah negara tetangga Russia.

Jakarta - Semoga cepat terwujud perdamaian yang menenangkan. Sekitar akhir April tahun lalu, seorang diplomat salah satu negara Commonwealth of Independent States (CIS) menghubungi ANTARA. Dia tertarik oleh tulisan ANTARA mengenai sikap negara-negara tetangga Russia terhadap invasi Russia ke Ukraina.

CIS atau Persemakmuran Negara-Negara Merdeka adalah organisasi kawasan beranggotakan negara-negara bekas Uni Soviet, yang dibentuk setelah Soviet bubar.

Ketika kami kemudian bertemu muka di sebuah restoran di Jakarta Selatan, seperti umumnya diplomat di mana pun yang akan senantiasa hati-hati berucap, diplomat CIS ini dengan halus menolak menjawab bagaimana sikap negaranya dalam perang di Ukraina.

Namun, itu tak lagi penting karena ketertarikan dia kepada tulisan ANTARA mengenai kecemasan negara-negara tetangga Russia, secara implisit mengafirmasi analisis ANTARA bahwa tetangga-tetangga Russia khawatir situasi seperti yang dihadapi Ukraina bisa menimpa negara mereka.

Delapan bulan kemudian, ANTARA ditugaskan ke Lithuania untuk meliputi sebuah acara bisnis yang diadakan sebuah perusahaan perawatan pesawat terbang terkemuka di dunia yang memiliki cadang usaha di Indonesia.

Lithuania adalah juga bekas republik dalam Uni Soviet yang ambruk pada awal 1990-an dan mengakhiri Perang Dingin.

Lithuania berbatasan langsung dengan Russia, tepatnya dengan Kaliningrad yang menjadi markas Armada Baltik Russia.

Lithuania juga berbatasan dengan Belarus di bagian timurnya. Belarus adalah tempat Russia melancarkan invasi ke Ukraina 24 Februari, tepat setahun lalu.

Sebelum sampai Lithuania pun, ANTARA sudah tergelitik ingin mengetahui pandangan masyarakat Lithuania terhadap perang di Ukraina.

Dalam beberapa kesempatan bertemu dengan warga Ukraina di Lithuania itu, ANTARA berusaha menggali hal tersebut, termasuk dalam sebuah santap malam dengan eksekutif dan staf perusahaan perawatan pesawat asal Lithuania itu.

"Russia is the bad guy (Russia itu jahat)," kata Zydrune Budine, yang merupakan staf hubungan masyarakat pada perusahaan perawatan pesawat terbang Lithuania itu.

Jumlah penduduk Lithuania cuma 2,8 juta, yang 84,6 persen di antaranya etnis Lithuania, sedangkan proporsi etnis Russia mencapai lima persen.

Di Lithuania, ANTARA juga bertemu dengan seorang diplomat Lithuania. Diplomat ini memiliki pandangan tak berbeda dengan pemerintah Lithuania yang sejak awal menentang invasi Russia di Ukraina, bahkan PM Ingrida Simonyte mengunjungi Ukraina pada April 2022.

Pandangan-pandangan orang-orang Lithuania yang berbicara dengan ANTARA itu mencerminkan sikap umum di Lithuania terhadap konflik di Ukraina, seperti terlihat dalam berbagai jajak pendapat.

Jajak pendapat DG COMM's Public Opinion Monitoring Unit pada Oktober 2022 misalnya, menunjukkan Lithuania menganggap Russia ancaman besar bagi keamanan nasionalnya.

Dibandingkan dengan negara-negara Eropa dalam jajak pendapat itu, Lithuania adalah teratas yang menganggap Russia sebagai ancaman keamanannya.

Setelah Lithuania, ada Polandia yang berbatasan dengan Ukraina dan pernah pula menjadi satelit Uni Soviet serta di masa lalu acap berkonflik dengan imperium Russia.

Yang mengejutkan adalah Swedia yang berpuluh-puluh tahun netral. Negara ini menduduki urutan ketiga sebagai negara yang menempatkan Russia sebagai ancaman.

Jajak pendapat ini sendiri tak melibatkan Estonia dan Latvia yang pecahan Uni Soviet, atau Norwegia dan Finlandia yang berbatasan dengan Russia.

Finlandia yang tidak seperti Norwegia, bukan anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), dan memiliki perbatasan sepanjang 1.340 km dengan Russia, kian merasa tidak nyaman dengan Russia.

Bahkan, bersama Swedia, Finlandia melanggar tabu netral, dengan melamar menjadi anggota NATO.

Negara Eropa lain yang tak masuk survei DG COMM adalah Georgia yang seperti Ukraina memiliki perbatasan dengan Russia dan diperangi Russia pada 2008.

Sekitar sebulan setelah Russia menginvasi Ukraina pada Februari 2022, Caucasus Research Resource Centers di Georgia menggelar jajak pendapat mengenai perang Ukraina.

Ternyata, 80 persen warga Georgia menilai perang Ukraina pecah gara-gara Russia dan Vladimir Putin. Masing-masing hanya 1 persen yang menyebut Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, NATO, dan Amerika Serikat sebagai biang kerok perang ini.

Sebanyak 79 persen warga Georgia menganggap Russia ingin mencaplok Ukraina dan menghidupkan imperium Uni Soviet. Tak heran, 95 persen warga Georgia meminta negaranya membantu Ukraina.

Negara bekas Soviet lainnya yang berbatasan dengan Russia adalah Azerbaijan dan Kazakhstan. Di dua negara ini pun pandangan terhadap Russia tidak lebih baik.

Menurut jajak pendapat DEMOSCOPE Bureau pada November 2022, 55 persen rakyat Kazakhstan memang netral dalam kasus perang Ukraina, tetapi jika melihat komposisi yang pro dan kontra, yang bersimpati kepada Ukraina lebih banyak ketimbang Russia.

Menurut jajak pendapat itu, 22 persen warga Kazakhstan mendukung Ukraina, sementara yang mendukung Russia hanya 13 persen.

Memang lebih terpolarisasi ketimbang negara-negara eks Soviet lainnya mengingat Kazakhstan memiliki proporsi penduduk etnis Russia lumayan besar sampai mencapai 15 persen dari total 19,4 juta penduduk negeri ini.

Akan halnya Azerbaijan, negara ini kerap berseberangan dengan Russia. "Opini publik di Azerbaijan sejak lama mengkhawatirkan ancaman imperialisme Russia," kata Murad Muradov dari lembaga think tank Azerbaijan, Topchubashov Centre.

Azerbaijan, Georgia, Ukraina dan Moldova saling mendukung dalam setiap sengketa teritorial yang mereka hadapi, termasuk ketika Azerbaijan dan Armenia bersengketa dalam isu Nagorno Karabakh.

Tiga dari keempat negara itu memiliki kantong-kantong etnis Russia yang acap menjadi pintu masuk bagi Russia untuk mengintervensi mereka, seperti saat ini terjadi di Ukraina dan Georgia pada 2008.

Keempat negara sepertinya berusaha lepas dari pengaruh Russia, sampai membentuk Organisasi untuk Demokrasi dan Pembangunan Ekonomi GUAM (Georgia, Ukraina, Azerbaijan dan Moldova) pada 2001.

GUAM kebalikan dari Collective Security Treaty Organization (CSTO) yang beranggotakan Russia, Belarus, Armenia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, dan Tajikistan.

Amanat UUD 1945

Hampir semua anggota GUAM menghadapi masalah separatisme di wilayah-wilayah berpenduduk mayoritas etnis Russia.

Ukraina di bagian timurnya di Donbas, Georgia di Abkhaziadan Ossetia Selatan, dan Moldova di Transnistria, sedangkan Azerbaijan menghadapi masalah di Nagorno Karabakh yang mayoritas penduduknya etnis Armenia.

Hampir semua kantong ini bergolak karena dikipasi Russia. Transnistria ini pun saat ini ikut memanas.

Tak salah jika Zelenenskyy menyatakan Russia tak akan berhenti di Ukraina. Negara-negara eks Soviet dan eks Blok Timur, seperti Polandia, bisa menjadi sasaran Putin berikutnya.

Tentu saja kebanyakan negara di dunia tak mau tahu dengan kekhawatiran tetangga-tetangga Russia itu dan menyederhanakan perang di Ukraina sebagai tak lebih dari konflik AS melawan Russia.

Benar, Barat dan AS acap berstandar ganda, termasuk dalam isu Palestina, tapi seharusnya itu tak membenarkan aksi Russia di Ukraina yang sama-sama melanggar prinsip-prinsip universal dalam Piagam PBB.

Resolusi Majelis Umum PBB baru-baru ini sendiri menuntut Russia mundur tanpa syarat dari Ukraina.

Negara-negara, seperti China dan India, bahkan tak menentang resolusi ini. Pun dengan Armenia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, dan Tajikistan yang semuanya anggota CSTO.

Bagi Indonesia sendiri, pembelaan kepada Ukraina bukan berarti condong kepada Barat atau Amerika Serikat.

Sebaliknya, memihak Ukraina adalah menjalankan amanat UUD 1945 yang meniscayakan Indonesia berpihak kepada kemerdekaan dan menghormati kedaulatan sebuah negara. Saking cintanya kepada kemerdekaan, ada pepatah di Indonesia bahwa "kita cinta perdamaian, tapi lebih cinta kemerdekaan."

Lagi pula, apa yang dilakukan Ukraina niscaya dilakukan negara yang wilayahnya diserobot negara lain. Mereka pasti mencari bantuan dari negara lain, termasuk dari negara-negara besar yang dianggap berstandar ganda.

Ketika pada 2017 junta Myanmar melakukan pembersihan etnis Rohingya sehingga seluruh dunia marah, termasuk dunia Islam, adalah Russia dan China yang membuat junta militer merasa di atas angin walau sekitar 25 ribu warga Rohingya mati hanya karena berbeda etnis, dan hampir sejuta lainnya lari ke Bangladesh.

Fakta ini menunjukkan tak ada negara besar yang tidak berstandar ganda, termasuk Russia. Semua bertindak atas kepentingan nasionalnya, termasuk dalam sengketa teritorial.

Padahal, dunia sudah sepakat mendahulukan jalan damai untuk menyelesaikan sengketa. Bahkan, demi menomorsatukan jalan damai itu, Indonesia harus kehilangan Timor Timur.

Namun, Indonesia menghormati mekanisme hukum internasional dan tetap berhubungan baik dengan Timor Leste, sampai aktif mendorong ASEAN agar menerima negara baru ini sebagai anggota barunya.

Jika kemudian banyak orang Indonesia bersimpati kepada Ukraina dan lebih mendukung Ukraina, maka itu bukan karena pro Barat dan Amerika Serikat, pun bukan karena membenci Russia.

Ini amanat UUD 1945 agar Indonesia memuliakan kemerdekaan dan kedaulatan negara.

Ini juga bentuk bangsa ini bersimpati kepada negara-negara yang cemas bakal bernasib serupa Ukraina, terlebih negara-negara ini umumnya lebih kecil ketimbang Ukraina, sehingga manusiawi jika mereka cemas melihat situasi di Ukraina.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top