Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Strategi Pembangunan - Kepemilikan Lahan Dinilai sebagai Sumber Kesenjangan

Sektor Pertanian, Kunci Merdeka dari Ketimpangan

Foto : ANTARA/Rosa Panggabean
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Indonesia yang akan merayakan kemerdekaan ke-72 pada 17 Agustus 2017, dinilai belum mampu membebaskan diri dari belenggu kemiskinan dan ketimpangan pendapatan.

Sejumlah kalangan mengemukakan angka kemiskinan saat ini sebanyak 27,77 juta orang dan indeks rasio gini (indikator kesenjangan) 0,39 bisa diperbaiki apabila pemerintah bersungguh-sungguh menjadikan pertanian sebagai leading sector,

yaitu sektor potensial yang dapat berperan sebagai penggerak bagi sektorsektor lainnya. Pengamat pangan dari Institut Pertanian Bogor, Dodik Ridho Nurrochmat, mengatakan sayangnya selama ini sejumlah kebijakan pemerintah memang belum mendukung pertumbuhan sektor pertanian.

"Seharusnya, pemerintah melindungi segenap bangsa. Salah satu contohnya, mengenai harga eceran tertinggi (HET). Seharusnya bisa melindungi petani, tetapi juga tidak merugikan konsumen," kata Dodik dalam diskusi soal pembangunan ekonomi perdesaan, di Jakarta, Selasa (15/8).

Menurut dia, sumbangsih pertanian dalam mengatasi ketimpangan di Tanah Air sebenarnya bukan hal mustahil. Meskipun saat ini jumlah petani berkurang menjadi sekitar 40 juta orang, tetapi hal itu bukan merupakan kerisauan utama. "Yang harus jadi kerisauan kita adalah petani tidak produktif.

Jadi yang tidak boleh turun itu produktivitasnya. Yang kedua yang tidak boleh menurun luas lahan pertanian. Karena lahan kita sudah sangat kecil.

Makanya, saya ragu kalau kita masih disebut negara agraris," tukas Dodik. Ia lantas membandingkan, luas lahan pertanian di Inggris yang mencapai 75 persen dari total lahan yang dimiliki. Sementara itu, Amerika Serikat dan Australia lebih dari 50 persen lahannya dialokasikan untuk sektor pertanian.

"Mereka petaninya sedikit, tapi lahannya luas. Lahan 40 hektare (ha) saja di sana untuk petani miskin," kata Dodik. "Kalau luas lahan pertanian kita hanya 20 persen dari total luas lahan, termasuk sawit itu hanya sekitar 40 juta ha dari 190 juta ha, itu tidak besar.

Yang besar hutan, tapi apakah tetap kita pertahankan hutan 67 persen," imbuh dia. Menurut Dodik, kalau jumlah petani berkurang tetapi produktivitas naik, ini juga bisa mengurangi ketimpangan. Sebab, secara otomatis bisa jadi luas kepemilikan lahan juga bertambah untuk rata-rata petani.

"Saya optimitis pada anakanak muda yang educated. Karena nggak semua anak-anak muda enggan bercocok tanam. Kita pernah survei, anak-anak petani holtikultura itu 60 persen masih tetap ingin menjadi petani," ungkap dia. Faktor Penentu Sementara itu, peneliti Narasi untuk Pembangunan Pedesaan,

Mubariq Achmad, mengatakan sumber ketimpangan selama ini adalah kepemilikan lahan. "Kepemilikan lahan sangat menentukan pendapatan masyarakat di perdesaan. Kalau tanahnya diambil, ya sumber pendapatanya hilang, makanya ketimpangannya tinggi," jelas dia.

Sebagai informasi, berdasarkan Sensus Pertanian 2013, sekitar 56,03 persen petani Indonesia merupakan petani gurem yang penguasaan lahannya kurang dari 0,5 ha. Di sisi lain, persentase petani yang memiliki lahan lebih dari 2 ha semakin banyak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Mubariq juga menyebutkan ketimpangan penguasaan lahan di perdesaan punya kontribusi pada tingkat kemiskinan dan kerentanan masyarakat. Namun, aspek ini belum masuk dalam program-program pemerintah untuk pengentasan kemiskinan. ahm/WP

Komentar

Komentar
()

Top