Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pencemaran Lingkungan - WHO: 90 Persen Peduduk Dunia Terdampak Polusi Udara

Segera Siapkan Mitigasi Bencana Polusi Udara

Foto : GREG BAKER/AFP

POLUSI UDARA - Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mengeluarkan asap polusi udara. Polusi itu membuat warga yang tinggal di sekitar PLTU tersebut sama dengan menghirup hawa knalpot kendaraan setiap hari.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah Indonesia mesti segera menyiapkan mitigasi bencana polusi udara. Sebab, saat ini polusi udara merupakan salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia, lebih penting daripada AIDS, tuberkulosis (TBC), atau kecelakaan lalu lintas. Secara global, sekitar 18 ribu orang meninggal setiap hari akibat polusi udara.

Jumlah itu setara dengan 6,5 juta kematian dalam setahun. Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), belum lama ini, memperkirakan hampir 90 persen penduduk dunia terdampak polusi udara. Pada 2016, sekitar tujuh juta orang di seluruh dunia meninggal dunia karena alasan terkait dengan polusi udara.

Ini dinilai juga memicu ekonomi biaya tinggi. Polusi itu terutama menjangkiti orang yang sudah sakit, serta kelompok paling rentan seperti anak-anak. Sejumlah kalangan mengemukakan polusi udara merupakan konsekuensi langsung dari emisi gas di udara (antara lain karbon monoksida, karbon dioksida, nitrogen oksida, dan sulfur dioksida), materi partikulat dan cairan dari berbagai sumber, yang berkonsentrasi di atmosfer.

Sumber utama pencemaran termasuk moda transportasi yang tidak efisien, bahan bakar rumah tangga dan pembakaran limbah, pembangkit listrik tenaga batu bara dan kegiatan industri. Pakar Teknik Lingkungan dari ITS, Surabaya, Arie Dipareza Syafei, mengungkapkan operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dari sumber batu bara, berbahaya bagi kesehatan manusia karena bisa menyebabkan penyakit paru-paru.

"Debu dari batu bara terbukti menimbulkan penyakit terkait paru-paru seperti pneumoconiosis, walaupun penyakit paru-paru tidak sepenuhnya berasal dari debu batu bara," jelas dia, ketika dihubungi, Selasa (18/12). Arie memaparkan bukti dari literatur telah menunjukkan bahwa selama lebih dari 30 tahun studi menyimpulkan bahwa debu batu bara menimbulkan chronic obstructive pulmonary disease (COPD) dan jelas mempengaruhi kapasitas paru.

"Debu berbahaya, menyebabkan penyakit seperti itu," kata dia. Hal senada dikemukakan Manajer Kampanye Urban dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Dwi Sawung. Dia pun khawatir penggunaan batu bara yang terus-menerus dapat mengancam kehidupan manusia itu sendiri.

Sebab, beragam penyakit dan persoalan lingkungan disebabkan oleh penggunaan sumber energi kotor dan tidak terbarukan itu. "Air yang paling parah berdampak langsung. Kalau udara, biasanya orang yang di sekitar tambang. Kalau buruh tambang biasanya ada penyakit khusus, bluck lung," kata Sawung.

Penyakit black lung dapat ditemui di berbagai negara. Penyakit tersebut menyerang paru-paru. "Tidak hanya buruh, tapi masyarakat di sekitar, seperti di pelabuhan atau sektor transportasinya biasanya punya penyakit black lung," jelas dia.

Harus Beralih

Meski bahaya dan kerugian ekonomi yang diderita masyarakat yang bermukim di sekitar tambang sangat besar, perusahaan batu bara biasanya hanya memberikan "uang debu" sebagai kompensasi bagi warga. "Uang debu itu kecil dibandingkan penyakit paru-paru yang akan menjangkiti dalam kurun waktu yang lama.

Belasan tahun mungkin baru terlihat dampaknya. Tapi kalau anak-anak biasanya dampaknya itu cepat. Ini tentu merusak masa depan generasi kita," kata Sawung. Dia menambahkan, pemerintah pada akhirnya yang menanggung biaya perawatan masyarakat itu melalui program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Padahal, jika paru-paru seseorang sudah terserang, maka penyakit lain mudah menular. Akibatnya, anggaran BPJS bisa jebol kalau tidak segera diatasi sumber masalahnya. Sawung pun menyarankan agar pemerintah segera beralih ke energi bersih, yaitu energi baru dan terbarukan (EBT). "

Memang kita sudah seharusnya beralih ke energi terbarukan, tidak lagi pakai batu bara," kata Sawung. Menurut dia, target pemerintah untuk menggunakan EBT hingga 23 persen pada 2025 dalam bauran energi nasional bisa tercapai, asalkan pemerintah berkomitmen tegas untuk menyetop pemakaian batu bara mulai dari sekarang.

Di negara maju, lanjut Sawung, energi kotor mulai ditinggalkan dan mulai beralih ke energi terbarukan. Saat ini, hanya negara di Asia Tenggara yang masih menolerir penggunaannya, salah satunya Indonesia. Di Tiongkok, pembangkit listrik batu bara besar terakhir di Beijing telah berhenti beroperasi, Mei tahun lalu.

Listrik di kota itu kini menggunakan sumber gas alam, setelah Ibu Kota Tiongkok itu selama bertahun-tahun bertarung dengan masalah asap tebal. Dikabarkan, Beijing telah menjadi kota pertama di negara itu yang semua pembangkit listriknya menggunakan gas alam. Ini merupakan target yang ditetapkan pada 2013 dalam rencana aksi udara bersih lima tahunan.

Penolakan Warga

Sementara itu, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah, menambahkan selain persoalan lingkungan dan kesehatan, masyarakat sekitar area tambang juga harus berhadapan langsung dengan beragam masalah yang ditimbulkan oleh industri energi kotor ini.

Misalnya, penggusuran lahan, perampasan wilayah adat, kriminalisasi, krisis pangan dan air, ancaman kesehatan, hingga tindakan kekerasan aparat negara. Selain permasalahan di sekitar area tambang, masyarakat yang tinggal di sekitar proyek pembangunan PLTU juga menderita dampak negatif akibat polusi udara.

Akibatnya, sejumlah proyek PLTU mendapatkan penolakan dari warga. Contohnya, di proyek PLTU Batang, Jawa Tengah, tahun lalu. Masyarakat Batang yang sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan petani telah berjuang selama lima tahun lebih, untuk menentang proyek kotor ini.

PLTU Batang yang direncanakan akan dibangun disebut sebagai PLTU batubara terbesar di Asia Tenggara berkapasitas 2.000 megawatt di tanah dan laut masyarakat Batang. Jika rencana pembangunan ini diteruskan maka PLTU ini akan dibangun di atas tanah seluas 226 hektar, memangsa lahan pertanian produktif, sawah beririgasi teknis seluas 124,5 hektar dan perkebunan melati 20 hektar, dan sawah tadah hujan seluas 152 hektar.

Dan, yang paling mengejutkan adalah PLTU ini akan dibangun di Kawasan Konservasi Laut Daerah Ujungnegoro-Roban, yang merupakan kawasan kaya ikan dan terumbu karang, kawasan yang menjadi wilayah tangkapan ikan nelayan dari berbagai wilayah di Pantai Utara Jawa.

PLTU Batang akan mengeluarkan sekitar 10,8 juta ton karbon ke atmosfer, yang setara dengan emisi karbon seluruh negara Myanmar pada 2009.Pembangunan PLTU Batubara telah mengakibatkan dampak lingkungan di berbagai tempat. Dampak yang sangat nyata terlihat terhadap kehidupan nelayan.

SB/ers/ahm/WP

Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top