Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Suku Bunga - Ruang Pelonggaran Moneter Sudah Habis

Bunga Acuan BI Mesti Dinaikkan

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Indonesia diharapkan segera mengantisipasi tantangan global tahun depan berupa tren pengetatan kebijakan moneter negara maju dan ancaman inflasi dari dalam negeri dengan menaikkan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI). Pengetatan moneter global itu ditandai oleh keputusan bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, menaikkan suku bunga acuan sebesar 0,25 persen menjadi 1,25-1,50 persen pada Rabu (13/12).

Langkah itu diikuti oleh bank sentral Tiongkok yang mengerek reverse repurchase agreement tujuh hari dan 28 hari sebesar lima basis poin. Ekonom Indef, Bhima Yudhistira, mengatakan kenaikan suku bunga The Fed yang ketiga kalinya tahun ini dan pemangkasan pajak di AS membuat ruang pelonggaran moneter di Indonesia sudah habis.

Dari dalam negeri, lanjut dia, cuaca buruk mengancam inflasi sebab kenaikan harga komoditas pangan utama seperti cabai, bawang merah, dan sebagainya membuat inflasi pangan sampai akhir tahun bisa mencapai 3,7 persen. Di sisi lain, tahun depan The Fed masih berpotensi untuk menaikkan suku bunga acuan hingga empat kali.

"Ancamannya capital flight karena pajak penghasilan badan di AS juga dipotong tinggal 20 persen. Untuk tahun depan, suku bunga kita berpotensi naik, sulit bagi BI untuk terus menahan," kata Bhima, di Jakarta, Kamis (14/12). Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, kemarin, memutuskan kembali menahan suku bunga acuan, BI 7-day Reverse Repo Rate di level 4,25 persen dalam bulan ini.

Bhima menambahkan, capital outflow menekan rupiah dalam kuartal terakhir ini, dan hanya ada dua cara untuk mengatasi hal itu, yakni menaikkan suku bunga acuan agar imbal hasil tetap menarik atau mengorbankan cadangan devisa. Cara yang kedua dipilih oleh BI sehingga dalam sebulan terakhir cadangan devisa merosot empat miliar dollar AS menjadi 125 miliar dollar AS.

"Tapi untuk tahun depan, saya kira BI tidak akan kuat jor-joran cadangan devisa. Saya perkirakan BI 7-day Repo Rate mencapai 4,5-4,75 persen," kata Bhima. Pengamat ekonomi Universitas Brawijaya, Candra Fajri Ananda, mengingatkan BI agar mewaspadai tren pengetatan kebijakan moneter yang dilakukan bank sentral di negara maju di tahun depan.

Sebab, bank sentral AS itu kembali akan menaikkan suku bunga dibarengi dengan pengurangan neraca The Fed. Begitu juga dengan bank sentral Eropa (ECB) dan bank sentral Jepang (BoJ). "Kalau The Fed tahun depan cenderung lebih agresif menaikkan suku bunga maka BI perlu menaikkan suku bunga acuannya lebih dari 25 basis poin (bps)," kata dia.

Menjadi Dilematis

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, Arie Kuncoro, berpendapat pengetatan moneter oleh negara-negara besar seperti AS dan negara Eropa menjadi dilematis bagi BI. Sebab di satu sisi harus mengambil kebijakan untuk antisipasi, namun di sisi lain berupaya mempertahankan kebijakan yang sudah dilakukan dengan harapan bank bisa mentransmisikan dalam bentuk penurunan bunga dana dan kredit agar mendorong pembiayaan ke sektor riil.

Menurut dia, investor juga bingung jika harus pull out atau keluar dari Indonesia karena belum tentu mendapat imbal hasil yang tinggi, bahkan di AS sekalipun. "Prospek pertumbuhan di Indonesia masih cukup baik dan ini masuk dalam penghitungan bukan sekadar spread (selisih suku bunga)," jelas Arie.

Sementara itu, Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Dody Budi Waluyo, mengatakan Indonesia akan menghadapi sejumlah tantangan global di tahun depan. Mulai dari kecenderungan pengetatan kebijakan moneter negara maju, pengurangan neraca bank sentral AS, kecenderungan harga minyak yang naik, hingga kondisi geopolitik global.

Meski demikian, menurut dia, BI akan menyesuaikan kebijakan moneter di tahun depan sepanjang tiga indikator yang dilihat BI akan mengalami tekanan. Dody menjelaskan risiko-risiko global tersebut pasti akan berdampak ke ekonomi domestik. Apabila risiko tersebut berdampak pada inflasi dan kurs rupiah serta ekspektasi inflasi dan ekspektasi kurs rupiah, pihaknya akan melakukan penyesuaian kebijakan moneter.

YK/SB/ahm/bud/Ant/WP

Penulis : Eko S, Selocahyo Basoeki Utomo S, Vitto Budi, Antara

Komentar

Komentar
()

Top