Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Segarkan Pentingnya Nilai-nilai Pancasila lewat Mural

Foto : Koran Jakarta / Eko Sugiarto Putro

Gotong Royong - Seorang warga mengamati mural Pancasila di dinding Stadion Kridosono Yogyakarta, baru-baru ini. Ruh dari Pancasila adalah gotong-royong, maka kampanye Pancasila haruslah selalu bergerak dengan metode gotong royong.

A   A   A   Pengaturan Font

Bulan lalu, sekitar 50 perupa Yogyakarta menumpahkan kegelisahannya terkait kehidupan berkebangsaan dalam aksi Ngabuburit Mural Pancasila, di dinding Stadion Kridosono Yogyakarta. Selama dua hari, Sabtu (17/6) siang hingga Minggu (18/6) malam sisi timur dinding Kridosono menjadi kanvas bagi para seniman rupa yang sedang khawatir tersebut.

"Ya, kami khawatir, sangat khawatir dengan nilai-nilai luhur Pancasila yang mulai luntur. Kami khawatir, Indonesia yang secara asali adalah plural, terdiri dari ribuan pulau, ribuan bahasa, ribuan suku, berbagai agama, musti dipaksa menghadapi keinginan-keinginan penyeragaman," kata Koes Indarto, kurator seni rupa yang menjadi salah satu inisiator awal gelaran tersebut, di Yogyakarta, baru-baru ini.

Salah satu karya mural di dinding itu menggambarkan jari telunjuk yang sedang menunjuk Pancasila yang dibubuhi dengan kalimat tegas "Negara Tidak Dibangun dengan Fitnah". Fitnah, hoax, memang menjadi makanan sehari-hari bangsa ini pada era sekarang. Media sosial dipenuhi caci maki, kabar bohong, dan saling tebar kebencian dan ancaman.

Sekelompok warga Yogyakarta yang cemas, gerah, dan ingin terus menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia dari segala ancamannya, menggabungkan diri dalam sebuah gerakan bernama Gerakan Rakyat Pancasila. Gelaran Mural Pancasila adalah kegiatan kedua setelah sebelumnya pada 1 Juni 2017 mereka sanggup mengumpulkan ribuan warga Yogyakarta di Pergeralan Keraton Yogyakarta dalam Peringatan Hari Pancasila.

Koordinator Gerakan Rakyat Pancasila, Widihasto Wasana Putra, kepada Koran Jakarta mengatakan gerakan tersebut tak akan berhenti hanya pada Mural Pancasila. Gerakan tersebut akan terus berupaya menghimpun inisiatif warga dalam mempertahankan bangsa dan negaranya dari segala ancaman. Kata kuncinya, gerakan ini adalah gerakan sadar dari bawah, mandiri secara gagasan maupun pendanaan.

"Ruh dari Pancasila adalah gotong-royong, maka kampanye Pancasila haruslah selalu bergerak dengan metode gotong royong. Pancasila akan bisa kembali menjadi pandangan hidup bersama kalau ini menjadi gerakan dari bawah. Warga benar-benar sangat peduli terhadap nasib Pancasila ini. Buktinya, Gerakan Rakyat Pancasila ini yang benar-benar dari dan oleh warga," paparnya.

Terus Bergulir

Widihasto mengatakan Gerakan Rakyat Pancasila akan terus bergulir dengan aktivitas bersama warga yang bentuknya bisa beraneka rupa, yang pasti setiap aktivitas adalah aktivitas yang didorong bersama oleh warga dan dilakukan secara gotong royong.

Mural Pancasila diikuti dengan lomba selfie di dinding yang kini telah penuh dengan pesan abadi para seniman. Pesan mural di dinding stadion, memang sesuatu yang sengaja dipilih karena sifatnya yang abadi, lebih tahan lama ketimbang berkata-kata di media massa.

"Gambar punya kekuatan dahsyat untuk menggerakkan publik. Kita lihat, warga sudah banyak yang selfie. Artinya dari karya seni di dinding ini, pesan menyebar ke seluruh Indonesia bahkan dunia. Maka sebagai bentuk apresiasi terhadap aktivitas selfie warga, kita adakan lomba," kata Widihasto.

Inisiatif warga Yogyakarta dalam merespons persoalan-persoalan kebangsaan, menurut Kepala Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (UGM), Heri Santoso, memang sudah menjadi warisan genetik sejak bangsa ini belum berdiri sebagai NKRI.

Menurut Heri, Sri Sultan HB IX sebagai Raja Yogyakarta, yang pertama mengakui Indonesia ketika negara ini dalam situasi belum ada yang mengakui kedaulatannya. Bahkan, Yogyakarta memberikan banyak dana untuk membiayai kemerdekaan Indonesia.

Ketika Soekarno dalam situasi sulit setelah enam bulan merdeka, Yogyakarta juga menawarkan diri untuk dijadikan Ibu Kota. Padahal, Yogyakarta, menurut Heri, adalah daerah atau negara yang relatif sudah sangat mandiri, punya pasukan, punya pelabuhan, punya pemerintahan, punya pers, dan lain sebagainya.

"Semangat itu, bahkan ketika NKRI tinggal sak godong kelor Yogyakarta yakni ketika berdiri Republik Indonesia Serikat, UUD yang dipakai di Yogyakarta menjadi salah satu kota penting perjuangan reformasi 1998. Dan sekarang, rakyatnya kembali bergerak demi Pancasila," jelas Heri.

Heri mengatakan bukan berarti bahwa Yogyakarta adalah kota paling nasionalis di Indonesia. Namun, kota ini bisa menjadi pelajaran bagi daerah lain bagaimana menjaga negara bangsanya sekaligus juga pelajaran untuk para elite bagaimana membaca apa yang diinginkan warganya.

"Warga kalau sudah mulai bergerak sendiri, negara harus segera hadir. Elite harus tahu bahwa warning-nya sudah keras," kata Heri. eko sugiarto putro/N-3


Redaktur : Marcellus Widiarto

Komentar

Komentar
()

Top