Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Sate Gebug, Cita Rasa Sate Khas Malang

Foto : koran jakarta/selocahyo basuki
A   A   A   Pengaturan Font

Sebelum direndam dengan bumbu rempah, daging dipukul-pukul terlebih dulu sampai empuk.

Melalui jajak pendapat yang digelar oleh CNN Go pada 2011, sate masuk ke dalam peringkat ke-14 dalam World's 50 most delicious foods (50 Hidangan Paling Lezat di Dunia).

Menurut situs wikipedia, sate diduga dibuat pertama kali oleh pedagang makanan jalanan di Jawa sekitar awal abad ke-19. Berdasarkan fakta, sate mulai populer sekitar awal abad ke-19.

Populernya sate bersamaan dengan semakin banyaknya pendatang dari Arab dan pendatang Muslim Tamil dan Gujarat dari India ke Indonesia. Kata "sate" atau "satai" diduga berasal dari bahasa Tamil.

Dari Jawa, sate menyebar ke seluruh kepulauan Nusantara lalu menghasilkan beraneka ragam jenis sate. Pada akhir abad ke-19, sate telah menyeberangi selat Malaka menuju Malaysia, Singapura, dan Thailand, dibawa oleh perantau Jawa dan Madura yang mulai berdagang sate di negeri jiran tersebut.

Pada abad ke-19 istilah sate berpindah bersamaan dengan perpindahan pendatang Melayu dari Hindia Belanda menuju Afrika Selatan, di sana sate dikenal sebagai sosatie.

Selanjutnya orang Belanda membawa sate dan juga banyak hidangan khas Indonesia lainnya ke negeri Belanda, hingga budaya memasak Indonesia ikut memberi warna seni memasak Belanda.

Sate Gebug Malang

Di Indonesia, sate dapat banyak dijual oleh pedagang sate keliling, pedagang kaki lima, depot, hingga di restoran kelas atas. Dengan pengaruh budaya dan berbagai kreasi seni memasak, telah menghasilkan berbagai jenis sate.

Malang, kota terbesar kedua di Jawa Timur, selama ini telah dikenal sebagai salah satu daerah yang kaya akan obyek wisata kuliner. Bila anda merupakan penggemar sate, patut mencoba warung Sate Gebug, yang berada di Jalan Jendral Basuki Rahmat, Klojen.

Istilah "Gebug" dipilih sebagai nama karena dalam proses pembuatan sate, daging yang digunakan di gebug-gebug (pukul bahasa jawa) terlebih dahulu agar lunak.

Alhasil, tekstur sate yang telah dijajakan sejak 1920 ini luar biasa empuk. Meski menggunakan daging sapi, jauh dari kesan alot. Bahkan kadar empuk Sate Gebug sebanding dengan sate buntel yang dagingnya digiling atau dilembutkan.

"Sebelum direndam dengan bumbu rempah, daging dipukul-pukul terlebih dulu sampai empuk. Setelah itu baru dibakar menggunakan arang dengan bara api yang terjaga, supaya matang dan empuknya merata sampai dalam," kata Bu Cipto, sang pemilik warung.

Bu Cipto menjelaskan, resep racikan rempah yang digunakan sebagai bumbu sate diwariskan secara turun temurun dari almarhum Mbah Asrin, leluhur suami Bu Cipto yang juga telah almarhum.

"Beliau dulu juga dikenal sebagai pendekar silat. Ide membuat sate gebug dari daging sapi dan berukuran besar, karena dulu sudah banyak yang menjual sate ayam dan sate kambing dengan potongan daging lebih kecil. Bumbu rempahnya lebih lengkap dari steak," tambahnya.

Satu tusuk sate dengan ukuran daging yang cukup besar, cukup untuk menemani satu porsi nasi. Sensasi rempah dalam setiap serat sate begitu terasa, dengan mengandung sedikit rasa manis.

Tak seperti bumbu sate pada umumnya yang menggunakan saus kacang, bumbu sate gebug menggunakan campuran kecap manis dengan adonan rempah dan agak encer. Kombinasi bumbu khas dengan daging gurih dan super empuk, menghadirkan sensasi santap yang luar biasa.

Serunya lagi, bila diperhatikan bentuk warung atau depot Sate Gebug cukup unik. Sepintas dari luar bangunan mungil bercat kuning itu tampak biasa, terjepit di antara gedung-gedung besar dan modern yang berada di kawasan pusat Malang.

Begitu masuk ke dalam, pengunjung akan disambut pemandangan interior yang unik. Di tengah-tengah ruang makan, terdapat dapur berdinding batu dengan jendela.

Bangunan kuno tersebut rupanya adalah bekas gardu listrik, yang kemudian menjadi dapur di dalam bangunan depot yang tidak terlalu luas itu. Kesan "vintage" semakin terasa dengan kehadiran jam dinding dan radio kuno di sudut-sudut ruangan.

Uniknya lagi, banyak pengunjung yang secara turun temurun menjadi pelanggan warung sate gebug. Oleh karena itu pelayanan diberikan langung oleh sang pemilik dengan sentuhan kekeluargaan, juga secara turun temurun.

"Pelanggan warung ini sudah datang sejak anak-anak, dan sekarang masih datang membawa anak-anaknya. Dengan melayani langsung, kita tahu kebiasaan pelanggan, mulai porsi nasi, sampai takaran gula dan kadar kehangatan minuman yang disukai. Karena terbiasa banyak pelanggan yang menolak dilayani karyawan," terang Bu Cipto.

Masih banyak ciri khas warung sate gebug yang menambah sensasi seru bersantap pengunjung. Mulai nasi yang diletakkan agak "bersandar" di sisi pinggir piring, hingga bunyi lonceng "kluntung" sebagai penanda bagi juru masak.

Menurut Bu Cipto, dengan posisi nasi yang hampir keluar dari piring, akan memudahkan pelanggan yang punya kebiasaan melepas daging dari tusuk sate dan menyantap daging dan nasi bersamaan dengan sendok.

Sedangkan lonceng dibunyikan setiap ada pesanan, sehingga juru masak di samping luar langsung membakar sate. Hal itu bermula karena dahulu gedung sebelah warung sate gebug adalah kantor Polresta Malang, sehingga lonceng dipilih untuk mengalahkan suara bising dan agar tidak perlu berteriak-teriak.

SB/E-6

Sop, Soto, dan Rawon

"Pakai sop atau rawon ?" tanya Bu Cipto pada setiap pengunjung yang datang.

Selama ini makan sate identik dengan gaya "garingan". Sate dan bumbunya disantap tanpa kuah, hanya dengan nasi atau lontong. Namun banyak pelanggan warung Bu Cipto memilih cara menikmati sate yang berbeda.

Selain pelayanan dengan rasa kekeluargaan, rupanya banyak pengunjung menikmati sate bersama menu berkuah, seperti sop, rawon, dan soto. Gaya santap khas lauk dengan kuah ini layaknya menu "rumahan" dan sangat digemari pengunjung warung sate gebug.

Bahkan banyak pengunjung yang lebih mengutamakan pesanan sop, rawon, atau soto sebagai teman makan sate. Mereka hanya nasi sebagai pelengkap, dengan porsi separuh. Namun hidangan-hidangan berkuah tersebut juga tetap bisa dipesan, dan dinikmati tanpa sate.

Sop adalah menu berkuah yang menjadi favorit pengunjung. Selain sayuran dan daging segar, sop warung sate gebug dimasak tanpa menggunakan bahan

penyedap sama sekali. Namun demikian kuahnya yang hangat terasa gurih, dengan sedikit sensasi manis mengintip di ujung lidah. Begitu juga dengan soto dan rawonnya, memiliki ciri kadar rasa manis yang sama.

"Sengaja diberi gula agar memberi warna rasa, sebagai pengganti bahan penyedap," tuturnya.

Dia menjelaskan, sensasi gurih kuah sop, rawon, dan soto yang begitu kuat berasal dari kaldu tulang dan kaldu daging yang dimasak, sebelum sayuran dimasukkan.

"Satu panci sop membutuhkan tiga kilogram tulang putih (pangkal tulang), dan tiga kilogram daging. Sehingga meskipun tanpa bumbu penyedap, rasanya tetap gurih," ujarnya.

Menurut Bu Cipto, walaupun sensasi gurih begitu terasa, namun seluruh masakan berkuah Depot Sate Gebug, rendah lemak. Karena dalam proses pembuatan, lemak-lemak disaring dan dihilangkan terlebih dahulu, potongan-potongan daging telah dibuang bagian gajihnya sebelum disajikan. SB/E-6

Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top