Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Saatnya Teknologi Antisipasi Bencana Diterapkan

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Bencana terus terjadi. Kali ini yang menjadi korban adalah saudara kita di wilayah Banten dan Lampung. Mereka diterjang tsunami yang memporak-porandakan wilayah pesisir barat Banten dan selatan Lampung. Menurut laporan sementara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), jumlah korban tewas mencapai 429 orang, 1.485 orang luka-luka, 154 orang hilang, dan 16.082 orang.

Terjadinya tsunami di Selat Sunda berbeda dengan daerah lain. Selain datang tiba-tiba, tsunami Selat Sunda tidak terdeteksi oleh alat yang dimiliki instansi terkait. Dugaan sementara, tsunami Selat Sunda terjadi akibat erupsi Gunung Anak Krakatau yang berjenis gempa vulkanik. Inilah sebab, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) tidak dapat memantau karena alat sensor yang dimilikinya khusus gempa-gempa tektonik. Alasannya, karena lebih dari 90 persen kejadian tsunami di Indonesia itu diakibatkan oleh gempa tektonik. Selain itu, BMKG tak memiliki akses pada data-data gempa vulkanik. Data tersebut, berada di otoritas Badan Geologi.

Terlepas dari itu, bencana di kawasan Selat Sunda menggugah kita tentang kekuranganya yang ada. Indonesia juga tidak memiliki Deep-Ocean Tsunami Detection Buoy sejak 2012 padahal semula memiliki 21 buoy yang dihibahkan Jerman, Amerika Serikat, dan Malaysia.

Ketiadaan alat yang mengapung di laut itu mengharuskan BMKG memprediksi potensi tsunami pascagempa berdasarkan metode pemodelan. Artinya, perkiraan tsunami itu dihitung dalam perangkat lunak, berdasarkan pusat kedalaman dan magnitudo gempa. Metode penghitungan potensi tsunami yang kini diterapkan BMKG tak selalu presisi. Dulu skenarionya, data buoy mendukung BMKG. Kalau data itu ada, maka level peringatan tsunami akan semakin tegas.

Pada awalnya, Indonesia memiliki 22 unit buoy, namun kini semua buoy sudah tidak ada yang beroperasi. Tidak adanya biaya pemeliharaan dan operasi menyebabkan buoy tidak berfungsi sejak 2012. Tidak hanya rusak, namun juga hilang.

Pada 2006, BPPT memasang delapan unit buoy tsunami di Samudra Hindia atau barat Simeulue di Aceh, kemudian lautan Mentawai, dan barat Bengkulu, di bagian selatan. Buoy dipasang di perairan Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Cilacap, Bali, Laut Flores, Laut Maluku, dan Laut Banda. Buoy yang dipasang terapung pada jarak 800 kilometer dari tepi pantai menjadi korban vandalisme atau pencurian.

Indonesia yang berada di kawasan bencana sudah seharusnya memiliki alat pendeteksi segala jenis bencana. Paling tidak, dalam waktu dekat dipasang alat pendeteksi tsunami di pulau-pulau yang berdekatan dengan Gunung Anak Krakatau. Pemasangan tide gauge itu dapat membantu memberi peringatan dini jika terjadi tsunami yang diakibatkan erupsi Gunung Anak Krakatau.

Tak cuma itu, kembali terjadinya bencana menyadarkan kita akan pentingnya teknologi yang mampu mengurangi dampak kebencanaan. Maka tak aneh jika mendesak dibangun fasilitas alat deteksi Tsunami, seperti Buoy Tsunami maupun CBT atau Cable Based Tsunameter. Lagi pula, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah menyanggupi untuk membangun fasilitas alat deteksi tersbut.

Artinya, kita jangan melulu disibukkan dengan upaya penanganan pascagempa, sementara upaya antisipasi masih sangat minim, bahkan belum menjadi fokus perhatian. Kita perlu membangun kemandirian teknologi peringatan dini (early warning system) sebagai komponen pembangunan nasional.

Baca Juga :
Olahraga dan Politik

BPPT telah memiliki berbagai teknologi yang siap digunakan untuk mengantisipasi bencana gempa bumi serta tsunami. Teknologi mampu berperan signifikan dalam upaya mengurangi risiko bencana. Kita juga harus lebih advance dalam mengantisipasi bencana dengan menggunakan teknologi. Selain itu, sinergi dan komitmen yang kuat antarberbagai pemangku kepentingan juga dibutuhkan.

Komentar

Komentar
()

Top