Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Nilai Tukar - Kewajiban Utang BLBI Tidak Bisa Dilupakan

Rupiah Sulit Menguat jika Penyakit Fundamental Tak Disembuhkan

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

>>Era dana murah berakhir, BI mesti naikkan bunga acuan untuk cegah capital outflow.

>>Jika ingin fondasi negara sehat, tidak ada pilihan lain, laksanakan hak tagih utang BLBI.

JAKARTA - Sejumlah kalangan menilai kurs rupiah sulit menguat apabila dari faktor internal, yakni fundamental perekonomian Indonesia masih digerogoti penyakit berupa jebakan utang luar negeri yang tembus 350 miliar dollar AS, serta kebergantungan pada impor konsumsi dan pangan yang memboroskan devisa.

Kurs rupiah pada transaksi antarbank, Kamis (1/3), terus melemah hingga merosot lima poin menjadi 13.761 rupiah dibandingkan sebelumnya pada posisi 13.756 rupiah per dollar AS.

Bahkan, mata uang RI itu sempat menyentuh 13.800 per dollar AS. Kurs tengah Bank Indonesia (BI), kemarin, juga mencatat pelemahan rupiah sebesar 0,63 persen menjadi 13.793 rupiah per dollar AS dibandingkan posisi hari sebelumnya.

Ini merupakan level terendah rupiah dalam dua tahun terakhir atau sejak 12 Januari 2016. Saat itu, mata uang RI ditutup pada level 13.835 per dollar AS.

Peneliti Perkumpulan Prakarsa, Tengku Irvan Harja, mengatakan selama utang terutama utang luar negeri selalu menjadi andalan pemerintah dalam pembiayaan pembangunan maka kurs rupiah rentan terhadap gejolak eksternal maupun internal.

"Depresiasi rupiah membuat kewajiban utang luar negeri meningkat sehingga mengurangi kapasitas fiskal. Apalagi, sebagian utang itu untuk membayar kewajiban masa lalu berupa subsidi bunga obligasi rekapitalisasi perbankan eks BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia)," kata Tengku, saat dihubungi, Kamis (1/3).

Sebelum kasus BLBI atau krisis keuangan 1997, kurs rupiah masih di level 2.300 rupiah per dollar AS, dan kini telah melambung hingga enam kali lipat.

Menurut Tengku, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), Christine Lagarde, sudah mengisyaratkan agar negara ASEAN, termasuk Indonesia, untuk mencermati dampak dari reformasi pajak Amerika Serikat (AS) yang akan mendorong pertumbuhan AS sekitar 1,2 persen secara kumulatif pada 2018-2020.

Selain itu, pemotongan pajak di AS itu kemungkinan membuat ekonominya overheating sehingga perlu diredam dengan kenaikan suku bunga lebih cepat untuk menekan inflasi.

Ini bakal memicu pelarian modal atau capital outflow dari negara berkembang. "Baru saja IMF mengutarakan, rupiah langsung anjlok. Ini artinya bukan semata sentimen negatif, tapi karena fundamental ekonomi Indonesia yang tidak kuat menahan gejolak," papar Tengku.

Dia menambahkan kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS juga berpotensi membuat likuiditas global menyusut sehingga biaya utang meningkat.

"Era dana murah sudah berakhir. BI harus naikkan bunga acuan agar investor kembali datang," ujar dia. Akan tetapi, imbuh Tengku, kenaikan bunga acuan akan mengerek bunga kredit sehingga menambah risiko kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) yang kini cenderung meningkat terutama di sektor properti.

Akibatnya, BI terjepit dalam dilema antara kenaikan bunga dan NPL. Jika bunga tidak dinaikkan, rupiah bakal tertekan.

"Situasi maju kena mundur kena ini akibat bunga obligasi rekap bertahun-tahun dan penyaluran kredit bank yang condong ke properti. Selain itu, belasan tahun kita jorjoran impor pangan dan konsumsi sehingga menggerus cadangan devisa.

Padahal, sebagian besar devisa berupa standby loan, maka jika devisa naik, itu bukan karena surplus perdagangan," ungkap Tengku.

Bunga Berbunga

Dihubungi terpisah, pengamat keuangan Universitas Ibnu Chaldun Jakarta, Ahmad Iskandar, memaparkan sumber dari membengkaknya utang Indonesi adalah subsidi bunga obligasi rekap sebesar 70 triliun rupiah setiap tahun.

Pemerintah harus menerbitkan SBN (Surat Berharga Negara), yang juga berbunga, untuk membayar bunga utang BLBI itu. Akibat akumulasi bunga di atas bunga utang BLBI, pinjaman negara bengkak hampir 4.000 triliun rupiah.

Makanya, lanjut Iskandar, jika negara tidak melaksanakan hak tagih utang BLBI dan moratorium bunga obligasi rekap maka penyakit fundamental ekonomi RI tidak akan pernah sembuh.

"Subsidi bunga obligasi rekap diteruskan, bagaimana kita bisa lepas dari debt trap. Oknum-oknum pejabat yang ingin lupakan BLBI, itu bermimpi. Mau sembunyi di mana pun, kreditur internasional akan datang menagih.

Kewajiban BLBI tidak bisa dilupakan. Iskandar menuturkan di sinilah integritas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diuji untuk menuntaskan kasus BLBI, kejahatan korupsi terbesar di negeri ini, atau hanya menangani kasus-kasus korupsi kecil.

"KPK mesti punya prioritas. Jika ingin fondasi negara sehat, tidak ada pilihan lain, laksanakan hak tagih utang BLBI," tukas Iskandar. YK/ahm/WP

Penulis : Eko S

Komentar

Komentar
()

Top