Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Tantangan Perekonomian I Waspadai Utang yang Sudah Mencapai Rp8.000 Triliun

Rupiah Seharusnya Dibiarkan Bergerak ke Level yang Wajar

Foto : ISTIMEWA

Nilai Tukar Rupiah

A   A   A   Pengaturan Font

» Variabel ekonomi tidak meyakinkan untuk menopang penambahan utang yang begitu besar.

» Pada kasus Argentina, nilai peso terlalu tinggi dibandingkan kondisi ekonomi sebenarnya. Sekarang, pemerintahan baru mendevaluasi mata uang peso.

JAKARTA - Perekonomian nasional ke depan masih akan menghadapi berbagai risiko, baik dari faktor domestik maupun dari eksternal khususnya ketidakpastian ekonomi global. Dari eksternal, suku bunga the Fed terus berada di titik puncak. Selain itu, perlambatan ekonomi Tiongkok masih akan menjadi risiko bagi perekonomian Indonesia mengingat Tiongkok adalah mitra dagang dan investasi utama bagi Indonesia.

Pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Achmad Maruf, mengingatkan tak hanya dari eksternal, tetapi berbagai variabel dari dalam negeri juga perlu diwaspadai.

Pemerintah diminta berhati-hati mengelola keuangan negara sebab utang negara saat ini sudah melampaui 8.000 triliun rupiah atau dalam 10 tahun meningkat hampir 6.000 triliun sampai akhir pemerintahan saat ini pada 2024. Apalagi, peningkatan utang tersebut juga dibarengi dengan burden sharing antara Bank Indonesia (BI) dan pemerintah yang membuat bank sentral telah mencetak uang hampir 1.000 triliun rupiah sejak pandemi untuk membeli obligasi pemerintah.

"Otomatis jumlah uang yang beredar hari ini besar sekali, namun pertumbuhan ekonomi turun di masa pandemi hanya 2 persen, pada 2021 hanya 3 persen, dan 5 persen pada 2022 dan 2023 ini. Tapi, kok inflasi kita tercatat cuma 3 persenan di 2023 ini? Apakah ini angka inflasi riil, sangat wajar dipertanyakan," papar Maruf.

Dia juga menyotori nilai tukar rupiah yang relatif stabil meskipun BI terus mencetak uang. Depresiasi rupiah terhadap dollar AS relatif terkendali, tetapi masyarakat bisa menduga kalau itu adalah nilai tukar yang artificial. Hal itu terlihat dari suku bunga perbankan yang terus konservatif di tengah kenaikan suku bunga the Fed.

Maruf memaparkan pengalaman Argentina di mana pemerintah berusaha untuk menjaga nilai mata uangnya, peso, agar tidak turun terlalu cepat. Mereka melakukannya dengan cara yang disebut "mendukung nilai peso secara artifisial". Hal itu berarti pemerintah menggunakan berbagai kebijakan, seperti kontrol modal dan mencetak lebih banyak uang, untuk mencegah nilai peso jatuh terlalu drastis terhadap mata uang lain, khususnya dollar AS.

Namun demikian, upaya seperti itu sering kali memiliki konsekuensi buruk. Pada kasus Argentina, nilai peso terlalu tinggi dibandingkan dengan kondisi ekonomi sebenarnya. Akibatnya, ketika pemerintah mencetak lebih banyak uang untuk membantu mengatasi masalah keuangan, malah menyebabkan harga-harga barang naik dengan cepat, atau yang disebut sebagai inflasi tinggi.

"Sekarang, pemerintahan baru di Argentina, di bawah Presiden Javier Milei, mengambil langkah drastis dengan menilai ulang (devaluasi) nilai peso. Mereka melakukan devaluasi, yang berarti nilai peso dibandingkan dengan dollar AS turun sangat signifikan, lebih dari 50 persen," kata Maruf.

Tidak Meyakinkan

Maruf mengingatkan selain variabel-variabel tersebut, nilai ekspor bersih (ekspor dikurangi impor) Indonesia cenderung tipis, menandakan ketergantungan pada perdagangan internasional dan potensi ketidakseimbangan ekonomi.

Sementara itu, ekspor Indonesia seperti Nikel malah sebenarnya bergantung pada pendanaan dari luar negeri dan juga menghadapi masalah devisa hasil ekspor yang tidak mengendap di dalam negeri. "Sekarang, pemerintah kembali mengumumkan akan menambah utang 600 triliun rupiah pada tahun depan. Padahal variabel-variabel ekonomi tampak tidak meyakinkan untuk menopang penambahan utang begitu besar," tandas Maruf.

Dikutip dari CNN, Argentina, pekan lalu, dilaporkan akan mendevaluasi peso lebih dari 50 persen sebagai bagian dari reformasi ekonomi darurat. Langkah tegas itu mengubah nilai tukar resmi menjadi 800 peso per dollar dari 365 peso dan terjadi hanya beberapa hari setelah masa jabatan Presiden Javier Milei.

Milei saat kampanye berjanji mengganti peso dengan dollar untuk mengembalikan perekonomian ke jalurnya. Peso telah didukung secara artifisial selama bertahun-tahun oleh kontrol modal yang ketat, dan nilainya telah anjlok 52 persen tahun ini terhadap dollar AS.

Bank sentral Argentina beberapa tahun terakhir mencetak banyak peso untuk membantu pemerintah menghindari gagal bayar (default) utangnya. Hal itu mengakibatkan harga meroket.

Pengamat ekonomi Aditya Hera Nurmoko, mengatakan pemerintah harus transparan dan tidak boleh menutupi sama sekali kondisi keuangan negara yang riil.

"Jangan terlalu menarik utang dengan mendesain defisit yang sebenarnya tidak tercapai. Kalau berharap pada dana global yang saat ini mengering maka otomatis bunganya pasti tinggi," kata Aditya.

Sebab itu, rupiah seharusnya dibiarkan terdevaluasi dengan sendirinya ke nilai wajar. Jangan ditahan, supaya tidak jatuh lebih drastis yang parah seperti Argentina.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top