Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Rupiah Melemah Subsidi Membengkak

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Nilai tukar rupiah kian terpuruk, bahkan terancam menembus 15 ribu rupiah per dollar AS. Namun, pemerintah tampak masih percaya diri, sehingga tidak berkeinginan untuk melakukan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018. Alasannya, postur APBN 2018 dinilai sudah cukup baik, tidak mengalami deviasi besar dalam penerimaan negara dan belanja Negara. Kemudian, terpenting, defisit anggaran lebih kecil dari asumsi awal.

Selain itu, realisasi defisit semester pertama APBN 2018 yakni 110 triliun rupiah. Angka ini lebih kecil dari defisit semester pertama APBN 2017 sebesar 175 triliun rupiah. Dari sisi keseimbangan juga dinilai sehat. Semester pertama APBN 2018, pemerintah menerima surplus sebesar 10 triliun rupiah. Ini berbeda dengan periode yang sama pada tahun 2017 lalu saat mengalami kekurangan 68 triliun rupiah.

Karena tidak berubah, anggaran untuk subsidi energi jadi membengkak, mencapai 163,49 triliun rupiah. Artinya ada kenaikan 68,96 triliun rupiah dari target APBN 2018 sebesar 94,53 triliun rupiah. Peningkatan karena harga minyak terus naik.

Membengkaknya subsidi energi tahun fiskal 2018 tidak hanya berdampak negatif terhadap kas keuangan negara, namun juga pada badan usaha penyalur subsidi. Artinya, PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Listik Negara (PLN) sebagai penyalur subsidi harus menanggung kelebihan beban anggaran.

Dari hitungan, ada potential kehilangan atau kerugian sekitar 18 triliun rupiah dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut. Padahal, selama ini Pertamina dan PLN juga sudah terbebani persoalan keuangan, sehingga beban anggaran kedua BUMN itu bukannya berkurang, malah membesar.

Akibat beban itu, mau tak mau berimplikasi pada menurunnya kinerja BUMN. Setidaknya, rencana untuk membangun pembangkit, misalnya, untuk PLN atau eksplorasi oleh Pertamina, akan tertunda karena tidak ada dana.

Jika kondisi kedua BUMN terus terbebani kurs dollar dan kenaikan harga minyak global, beban subsidi akan ditanggung Pertamina dan PLN sebagai penyalur subsidi. Artinya, dampak pembengkakan subsidi tidak hanya dirasakan APBN, tapi juga kas keuangan Pertamina dan PLN.

Lebih dari itu, bertambahnya anggaran subsidi bukan semata dari pendapatan negara, tapi dari sumber lain, yakni utang. Sungguh ironis, sebab jumlah utang negara kini sudah menembus 5.000 triliun rupiah, sehingga sulit melunasi.

Dengan kata lain, proyeksi surplus pendapatan negara tahun ini bisa menjadi bumerang pemerintah lantaran masih diliputi ketidakpastian. Jadi, kesanggupan pemerintah menambah alokasi subsidi energi hingga 173 persen dari APBN 2018 tekesan memaksakan diri.

Lagi pula, pemerintah sedari awal sudah menjanjikan reformasi subsidi energi dengan menghapus anggaran subsidi BBM. Namun, jika sekarang anggaran subsidi naik, lalu buat apa reformasi?

Apalagi, subsidi energi yang ditanggung negara sebenarnya lebih besar jika memperhitungkan beban tunggakan BBM kepada Pertamina. Sebab, meski pemerintah tak mengalokasikan subsidi harga Premium dalam APBN, selisih harga jual dan harga keekonomian BBM menjadi tanggungan Pertamina. Beban ini sebaga itunggakan yang menjadi contingent liabilities bagi pemerintah lantaran status Pertamina sebagai BUMN.

Wah, jika kemudian harga minyak terus naik, beban subsidi meningkat. Akhirnya beban Pertamina akan jadi beban APBN atau fiscal contingent liabilities. Dengan kata lain, kita kembali ke masa lalu saat anggaran negara tak kuasa menanggung penurunan daya beli rakyat di tengah ketidakpastian perekonomian global.

Komentar

Komentar
()

Top