Ritual Masyarakat Osing yang Unik
Foto: istimewaDesa Kemiren di Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, tidak kalah menariknya dengan Desa Tamansari. Desa tua dengan kepala desa partama menjabat pada 1857 ini memiliki luas 177.052 hektare. Lokasinya hanya 6,6 kilometer ke arah barat pusat kota Banyuwangi.
Kekuatan desa wisata ini adalah pelestarian tradisi dan budaya suku Osing atau Using, yang mendiami wilayah kabupaten tersebut. Budaya tersebut berasal dari kerajaan Hindu Blambangan yang berbeda dari masyarakat Jawa, Madura dan Bali.
Salah atau tradisi yang dilestarikan berupa kasur. Mayoritas penduduk kemiren memiliki tempat tidur kasur dengan motif dan warna yang sama yaitu hitam dibagian atas dan merah di bagian bawah. Hitam melambangkan kelanggengan dan merah merah yang berarti sosok seorang ibu.
Pada satu momen seluruh masyarakat Kemiren mengeluarkan kasur masing-masing untuk dijemur di sepanjang jalan Desa Kemiren. Tradisi ini dinamakan Mepe Kasur, menurut warga setempat tradisi ini dilakukan untuk menolak segala sumber segala penyakit. Tradisi ini satu rangkaian dari tradisi tumpeng sewu "ritual bersih desa" yang dilaksanakan pada bulan Dhulhijjah menurut kalender Islam.
Selain ritual dan tradisi tersebut di sini masih rutin digelar tradisi Barong Ider Bumi. Upacara adat ini bertujuan untuk menolak bala yang digelar pada hari raya kedua Idul Fitri, tepatnya pada tanggal 2 Syawal.
Rangkaian upacara adat barong ider bumi diawali dengan kegiatan bersih desa. Setelah itu, dilakukan arak-arakan Barong diselingi pertunjukan kesenian. Pada akhir upacara, diadakan ritual "sembur uthik-uthik," yakni kegiatan menyemburkan uang koin yang telah dicampur beras kuning dan bunga. Uang koin ditebar di sepanjang jalan desa sebagai ungkapan rasa syukur atas rezeki yang berlimpah.
"Barong" atau "Barongan" dalam mitologi masyarakat Jawa dan Bali merupakan makhluk bersayap berkaki empat atau dua dengan kepala singa. Masyarakat Osing di Kemiren memercayai Barong sebagai penjaga desa dan dianggap sebagai perwujudan nilai-nilai kebaikan dan keadilan.
Tradisi lain yang bisa disaksikan adalah dalam hal bercocok tanam. Di saat masyarakat lain telah meninggalkan tradisi ini, masyarakat Kemiren masih menggelarnya yang dilakukan sejak menanam benih, saat padi mulai berisi hingga panen.
Pada saat masa panen tiba, petani menggunakan ani-ani diiringi tabuhan angklung dan gendang yang dimainkan di pematang-pematang sawah. Saat menumbuk padi, para perempuan memainkan tradisi gedhogan, yakni memukul-mukul lesung dan alu sehingga menimbulkan bunyi yang enak didengar. Musik lesung ini menjadi kesenian yang masuk dalam warisan budaya asli.
Pada saat panen pafi petani menyajikan kuliner khas pecel pithik dengan iringan musik angklung paglak petani. Mereka juga baling-baling bambu yang di sebut kiling. Kiling dari kata eling atau ingat bertujuan mengingatkan petani agar selalu ingat atau sadar.
Masyarakat Kemiren bukan hanya menjaga tradisi. Mereka juga mengadakan acara yang memberi manfaat ekonomi. Pada 2013 masyarakat kemiren mencetuskan event ngopi bersama dengan nama Ngopi Sepuluh Ewu yang terus berlangsung sampai kini setiap tahun.
Untuk mempersiapkan 10 ribu cangkir kopi, warga Kemiren menyiapkan tak kurang dari 350 kilogram bubuk kopi khas Banyuwangi. Di Kemiren meski tidak sedang diadakan upacara tradisi wisatawan dapat menikmati kopi Banyuwangi yang memiliki cita rasa khas.
Selain mencicipi, pengunjung juga bisa praktek langsung proses pengolahannya mulai dari menyangrai, menumbuk biji kopi, menyaring bubuk kopi sampai praktik cara penyajian kopi. Diolah menjadi minuman kopi jenis apapun, mulai dari Espresso atau Robusta, rasanya pasti akan terasa lebih nikmat
Atas kemampuan menghadirkan tradisi dan budaya ini, pada 1995 Bupati Purnomo Sidik menetapkan Desa Kemiren sebagai Desa Wisata Osing. Hal ini disusul dengan membangun anjungan wisata yang terletak di utara desa dalam miniatur rumah-rumah khas Osing, mempertontonkan kesenian warga setempat dan memamerkan hasil kebudayaan.
Rumah adat yang ada di Desa Kemiren memiliki desain crocogan, baresan, dan tikel balung. Salah satu bangunan dengan desain di Sanggar Genjah Arum. Bangunan ini dirancang tahan gempa, dengan struktur utama susunan 4 tiang saka (pilar) balok yang disatukan tanpa paku.
Sangga Genjah Aruma juga menghadirkan Tari Gandrung, yang menjadi tarian yang dihadirkan di banyak kesempatan. Sambil bersantai di Sanggar Genjah Arum, pengunjung akan dimanjakan oleh penari yang menghibur.
Selain rumah ada di anjungan wisata tersebut dibangun bermacam fasilitas wisata seperti kolam renang, tempat bermain, dan bangunan museum modern. Museum memamerkan berbagai perlengkapan dan pernik budaya Osing. Dengan tiket masuk 5.000 rupiah wisatawan bisa menikmati fasilitas rekreasi sepuasnya. hay/I-1
Berita Trending
- 1 Hasil Survei SMRC Tunjukkan Elektabilitas Pramono-Rano Karno Melejit dan Sudah Menyalip RK-Suswono
- 2 Kasad: Tingkatkan Kualitas Hidup Warga Papua Melalui Air Bersih dan Energi Ramah Lingkungan
- 3 Cagub DKI Pramono Targetkan Raih Suara di Atas 50 Persen di Jaksel saat Pilkada
- 4 Pelaku Pembobol Ruang Guru SMKN 12 Jakut Diburu Polisi
- 5 Panglima TNI Perintahkan Prajurit Berantas Judi “Online”
Berita Terkini
- Ditjen Hubdat Ajak Stakehoder Ciptakan Angkutan Barang Berkeselamatan
- Bahrain Luncurkan Tender Tenaga Surya 44 MW
- Pagi Ini, Gunung Semeru Erupsi Beberapa Kali
- Klasemen Kualifikasi Piala Dunia 2026: Jepang Perlebar Jarak dari Australia, Indonesia Juru Kunci
- Pasar Energi Bersih Jerman akan Dapat Suntikan Investasi