Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Hambatan Perekonomian | Negosiasi antara AS dan Tiongkok Belum Ada Titik Temu

Risiko Global Beralih ke "Trade War"

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Tantangan besar global saat ini adalah perang dagang setelah The Fed memutuskan untuk menahan suku bunga acuannya.

Jakarta - Tekanan eksternal terhadap perekonomian di dalam negeri saat ini bergeser dari normalisasi moneter di Amerika Serikat (AS) ke perang dagang antara dua negara ekonomi terbesar di dunia. Karena itu, dibutuhkan solusi yang tepat agar perang dagang antara AS dan Tiongkok tak berdampak buruk bagi perekonomian nasional.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, memperingatkan perang dagang akan menjadi tantangan ekonomi global selanjutnya setelah sentimen dari kenaikan suku bunga bank sentral AS (The Fed) mulai mereda. The Fed diperkirakan hanya menaikkan bunga acuan sekali selama periode 2019-2020.

"Tantangan besar global, ketika The Fed memutuskan untuk menahan suku bunga, itu perang dagang," kata Darmin saat ditemui di Jakarta, Jumat (22/3).

Darmin menjelaskan, saat ini belum ada kesepakatan baru yang menandakan berakhirnya perang dagang antara Tiongkok dan AS, sehingga ketidakpastian global ini belum akan usai dalam waktu dekat. "Belum ada posisi jelas, tidak maju dan tidak mundur. Kita lihat saja karena yang pasti dua-duanya merugi dan sama-sama terpengaruh pertumbuhan ekonominya," katanya.

Dia menambahkan persoalan perundingan perang dagang yang tidak bisa selesai dalam waktu cepat, bisa mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia dalam jangka pendek.

"Masalah dengan perang dagang adalah sekali dimulai, menghentikannya juga tidak mudah. Ini dampaknya lebih besar untuk kita, karena dua negara tersebut menjadi tujuan ekspor terbesar," ujarnya.

Karena itu, dia mengharapkan terdapat solusi dari permasalahan perdagangan global ini agar tekanan eksternal yang dapat mengganggu perekonomian nasional makin berkurang. "Buat kita, kalau perang dagang itu dapat diredam, apalagi bisa diselesaikan, akan baik sekali," kata Darmin.

Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump mengatakan AS sedang mempertimbangkan akan menahan tarif pada produk Tiongkok hingga batas waktu yang dianggap substansial. Padahal, AS sudah menerapkan bea tarif impor barang Tiongkok total senilai 250 miliar dollar AS.

"Penyataan Trump ini menandakan perang dagang belum akan reda dalam waktu dekat," ujar Kepala Riset Valbury Sekuritas, Alfiansyah, beberapa waktu lalu.

Migrasi Industri

Sebelumnya, Kementerian Perindustrian optimistis perang dagang antara AS dan Tiongkok akan menguntungkan Indonesia. Ketegangan dagang antara dua negara ekonomi terbesar di dunia itu berpeluang memicu migrasi industri ke Indonsia.

Indikasi tersebut terlihat dari beberapa perusahaan manufaktur Negeri Tirai Bambu yang ingin memindahkan basis produksinya ke Indonesia demi menghindari tarif tinggi yang dikenakan AS. Kementerian Perindustrian mengungkapkan beberapa industri tekstil dan alas kaki global sedang mempertimbangkan pemindahan pabrik dari Tiongkok ke Indonesia. Rencananya, pada 2019, ada investor Tiongkok bakal menanamkan modalnya sebesar 10 triliun rupiah di sektor industri tekstil.

"Investasi ini mengarah kepada pengembangan sektor menengah atau midstream, seperti bidang pemintalan, penenunan, pencelupan, dan pencetakan," ungkap Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto, beberapa waktu lalu.

Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia dinilai menjadi salah satu negara tujuan utama bagi investor Tiongkok. Ini seiring pula dengan komitmen pemerintah yang terus menciptakan iklim investasi kondusif dan memberikan kemudahan dalam proses perizinan usaha. mad/Ant/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Muchamad Ismail, Antara

Komentar

Komentar
()

Top