Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Persaingan Global I Pangan Masalah yang Paling Mendasar, Baru Setelah Itu Sandang dan Papan

RI Sulit Bersaing Jika Banyak "Stunting" dan IQ Rendah

Foto : Sumber: Global Hunger Indeks (GHI) - KJ/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

» Sumber protein termurah pun menjadi 'bancakan'. Bagaimana bisa maju, urusan perut rakyat saja pemerintah tidak peduli.

» Kalau bodoh, ya ditindas negara maju.

JAKARTA - Pemerintah diminta lebih peduli terhadap kualitas gizi rakyatnya, terutama anak-anak yang akan menjadi generasi penerus. Tanpa perbaikan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui asupan gizi yang memadai sejak usia dini, Indonesia akan sulit bersaing dengan negara lain.

Saat ini, tidak kurang 30 persen anak Indonesia mengalami stunting, yaitu menderita gizi buruk kronis yang terjadi selama periode paling awal pertumbuhan dan perkembangan anak. Angka itu jauh dari standar WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) yang seharusnya di bawah 20 persen. Jika hal itu dibiarkan terus, akan sangat memengaruhi tumbuh kembang anak seperti terganggunya kecerdasan otak dan pertumbuhan fisik.

World Population Review 2020 menyebutkan, peringkat IQ (intelligence quotient) rata-rata penduduk Indonesia berada pada posisi ke-83 dari 184 negara. Skor rata-rata IQ orang Indonesia adalah 87, sama dengan skor rata-rata orang Turkmenistan, Nauru, Azerbaijan, Bolivia, Irak, Myanmar, dan Brasil. Sementara Singapura (skor 108) dan lima negara di Asia Timur, yaitu Hong Kong (108), Korea Selatan (106), Jepang (105), Tiongkok (105), dan Taiwan (104) berada di posisi teratas.

Ketua Pusat Kajian Ekonomi Kerakyatan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya (UB), Malang, Munawar Ismail, ketika dihubungi, Selasa (5/1), mencontohkan gejolak harga kedelai yang terjadi sekarang ini merupakan contoh tidak adanya upaya pemerintah memperbaiki kualitas gizi dan SDM anak Indonesia.

Seperti diketahui, kedelai merupakan komoditas pangan penghasil protein nabati yang sangat penting, baik karena kandungan gizinya, aman dikonsumsi, maupun harganya yang lebih murah dibandingkan dengan sumber protein lainnya. Di Indonesia, kedelai umumnya dikonsumsi dalam bentuk pangan olahan, seperti tahu, tempe, kecap, tauco, susu kedelai, dan berbagai bentuk makanan ringan.

Menurut Munawar, gejolak harga kedelai ini karena Indonesia terlalu bergantung pada impor. Padahal, tempe yang berbahan baku kedelai, sudah seperti bahan pokok lainnya. Harusnya kalau mau mengurangi kebergantungan, caranya dengan mengenakan tarif bea masuk yang lebih tinggi pada kedelai impor.

"Sumber protein termurah pun menjadi 'bancakan'. Dan anehnya, hal ini terus terjadi dari pemerintahan yang satu ke pemerintahan berikutnya. Bagaimana Indonesia bisa maju, urusan perut rakyat saja pemerintah tidak peduli. Bagaimana kecerdasan otak anak Indonesia mampu bersaing di dunia kalau 30 persen anak Indonesia mengalami stunting. Terlebih, di saat terjadi pandemi seperti sekarang ini," kata Munawar.

Organisasi PBB untuk bantuan kemanusiaan dan perkembangan kesejahteraan anak, UNICEF (United Nations International Children's Fund) pernah mengingatkan bahwa pandemi Covid-19 pada tahun pertama akan meningkatkan jumlah kasus stunting dan wasting (kelaparan) sebanyak 15 persen di seluruh dunia. Setiap satu persen penurunan produk domestik bruto (PDB) global akan meningkatkan jumlah anak stunting sebanyak 0,7 juta di seluruh dunia.

Wasting memang biasa terjadi sebagai akibat kedaruratan seperti bencana alam dan juga pandemi seperti sekarang ini yang menyebabkan pasokan makanan dan layanan kesehatan terganggu.

Terbukti Miskin

Sementara itu, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Perikanan (KRKP), Said Abdullah, mengatakan modal utama untuk bersaing dengan negara-negara lain adalah kecerdasan otak, bukan senjata dan industri. "Kalau bodoh, ya ditindas negara maju. Tidak usah bicara merdeka kalau kita akhirnya jadi bodoh dengan kesalahan kita, yaitu tidak ada perhatian terhadap asupan gizi anak Indonesia.

Untuk itu, perlu dibentuk Badan Pangan yang nanti akan menjadi kunci masa depan anak-anak Indonesia. Untuk apa dibangun banyak pusat perbelanjaan kalau rakyatnya kurang gizi.

Menurutnya, jumlah stunting sebanyak 30 persen menunjukkan bahwa Indonesia itu miskin, karena memenuhi kebutuhan gizi saja tidak mampu. Padahal, pangan itu masalah yang paling mendasar, baru setelah itu sandang dan papan.

"Kalau stunting dan wasting ini terus berlanjut dari generasi ke generasi, kalau kita hanya mampu membeli makanan murah tetapi tidak bergizi seperti mi instan, ini artinya kita miskin terus karena nanti pertumbuhan otaknya pasti terhambat dan dipastikan tidak bisa bersaing. Jadi, jangan mimpi jadi negara maju kalau banyak gizi buruk dan IQ rendah," kata Said. n SB/ERS

Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top