Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Krisis Iklim I Target Penurunan Emisi Sektor Transportasi masih Parsial

RI Jangan Terlambat Manfaatkan Energi Baru Terbarukan

Foto : Sumber: Kemen ESDM
A   A   A   Pengaturan Font

» Produsen kendaraan AS dukung Biden bahwa 50 persen produksi mereka pada 2030 adalah mobil listrik.

» Kalau tidak serius mengikuti dinamika pemanfaatan energi global RI bakal tertinggal dan pada saat yang sama kerusakan alam akibat industri ekstraktif kian meluas.

JAKARTA - Pemerintah jangan terlambat memanfaatkan Energi Baru Terbarukan (EBT) yang tengah marak dikembangkan di hampir semua negara. Pentingnya Indonesia bergerak cepat mengembangkan energi ramah lingkungan tersebut karena tren pengembangan ekonomi global semuanya berbasis pada energi hijau.

Amerika Serikat (AS) misalnya seperti disampaikan Presiden Joe Biden pekan lalu saat mengumumkan target baru dari rencana pemerintah memerangi krisis iklim dengan menetapkan kebijakan penjualan kendaraan setengahnya harus menggunakan baterai listrik dan sel bahan bakar listrik atau plug-in hybrid pada 2030.

Biden menandatangani perintah eksekutif di Gedung Putih bersama perwakilan dari produsen otomotif di negara tersebut seperti Ford, GM dan Stellantis, serta anggota Serikat Pekerja Mobil Bersatu. Dalam pernyataan bersama, perusahaan produsen otomotif itu mendukung target baru Biden dengan mengumumkan aspirasi bersama mereka bahwa 40-50 persen mobil mereka yang terjual pada 2030 menjadi kendaraan listrik.

Berbicara dari Gedung Putih pada Kamis sore, Biden mengatakan masa depan manufaktur mobil Amerika adalah listrik dan tidak ada jalan untuk mundur. "Pertanyaannya adalah apakah kita akan memimpin atau tertinggal dalam perlombaan untuk masa depan," kata Biden.

Sepanjang pernyataan Biden menekankan langkah menuju kendaraan listrik harus datang dengan jaminan bahwa kendaraan itu serta baterai yang menggerakkannya harus dibuat di AS oleh anggota serikat pekerja.

Menanggapi komitmen Presiden AS itu, Pakar ekonomi dari Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI), Surabaya, Leo Herlambang, mengatakan kalau pemerintah menginginkan perekonomian maju, Indonesia jangan sampai terlambat dan harus mengikuti irama dunia dalam memanfaatkan EBT.

"Semua potensinya kita punya, sinar matahari yang panjang karena bukan negara empat musim, garis pantai yang panjang dengan angin melimpah, bahkan limbah sampah bisa kita manfaatkan," terang Leo.

Tren kebutuhan EBT sendiri tidak terelakkan dan dengan jumlah penduduk yang besar, sehingga Indonesia menjadi pasar yang sangat potensial.

"Industri dalam negeri perlu diberi kesempatan, jangan selalu mengandalkan luar negeri, nanti tentu seiring waktu mereka akan memperbaiki kekurangan yang ada. Kalau kita hanya bisa menjadi konsumen terus, kapan kita bisa menjadi negara maju, akan miskin terus, karena kebutuhan sektor energi ini sangat besar nilainya," kata Leo.

Kalau dalam membangun infrastruktur pemerintah mampu, maka untuk sektor energi pun harus dipacu dengan dukungan "political will" yang kuat. Indonesia tambahnya perlu mengikuti tren penggunaan energi global ke energi hijau. Saat ini, negara negara maju semakin konsisten memanfaatkan energi bersih bukan hanya di sektor pembangkit, tetapi transportasi.

Di sisi lain, Indonesia sendiri target penurunan emisi sektor transportasi masih parsial. Apabila Indonesia tidak serius mengikuti dinamika pemanfaatan energi global, RI bakal tertinggal pada saat yang sama kerusakan alam akibat industri ekstraktif kian meluas.

Target Ambisius

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan, AS di era Biden menetapkan target penurunan emisi CO2 yang ambisius yaitu pengurangan 50-52 persen emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada 2030 di seluruh sektor ekonomi.

Pemerintah Indonesia terang dia perlu mengikuti tren global. RI saat ini baru ada target penurunan emisi di Nationally Determine Contribution (NDC). Target itu perlu diturunkan ke dalam target penurunan emisi dari sektor transportasi yang lebih spesifik yang yang didukung dengan strategi dan rencana jangka panjang sampai dengan 2050-2060. Sejauh ini yang ada baru target dan strategi penurunan emisi pembangkit listrik.

"Untuk sektor transportasi belum ada strategi yang koheren dan baru parsial berupa peningkatan penggunaan kendaraan listrik dua juta pada 2030," kata Fabby.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top