Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Masa Depan Bangsa I PLN Jangan Bebankan Kelebihan Pasokan Listrik ke Masyarakat

RI Harus Mandiri Energi dan Pangan agar Bisa Lebih Maju

Foto : BAY ISMOYO / AFP

PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP TERUS BEROPERASI I Rumah-rumah di desa tercemar polusi asap yang mengepul dari cerobong di PLTU Suralaya, Cilegon, Banten. Cerobong asap menyemburkan asap berbahaya ke udara dari pembangkit listrik tenaga batu bara. Indonesia sudah ikut berpartisipasi pada konferensi perubahan iklim (COP) yang digagas PBB sejak pertama, tetapi faktanya terus menambah karbon dengan membangun beberapa PLTU.

A   A   A   Pengaturan Font

» Indonesia sulit meraih kemandirian pangan dan energi karena mental doyan impor dari birokrat yang ditunggangi para pemburu rente.

» Negara menyubsidi perampok BLBI dengan beban bunga 400 triliun rupiah per tahun sampai dengan 2043.

JAKARTA - Pemerintah diminta untuk memikirkan dan mengambil kebijakan yang akan menggiring pembangunan secara berkelanjutan agar bisa menjadi negara yang lebih maju di masa mendatang. Syarat utama yang harus dibangun terlebih dahulu adalah kemandirian energi dan pangan.

Pentingnya membangun kemandirian energi dan pangan karena terbukti dua sektor tersebut telah mengancam masyarakat global, terutama negara-negara yang abai memperkuat ketersediaan energi dan pangan nasionalnya selama ini.

Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, yang diminta pendapatnya mengatakan sulitnya Indonesia meraih kemandirian pangan dan energi karena mental doyan impor dari birokrat yang ditunggangi oleh para pemburu rente (rent seeker).

"Ada keuntungan dari setiap kilogram komoditas yang diimpor. Akibatnya tidak ada good will untuk mewujudkan kemandirian pangan," kata Esther.

Kemandirian pangan bahkan sudah disarankan para pakar belasan tahun lalu, namun bukannya membangun produksi pangan sendiri, malah dimatikan dengan impor.

FAO sendiri menyatakan pada 2023 produksi pangan dunia akan turun dan populasi dunia makin naik, terutama di negara sedang berkembang. Indonesia setiap tahun kehilangan devisa 15 miliar dollar AS untuk impor pangan. Masalah makin pelik karena harga pangan dunia setiap tahun terus naik, sedangkan cadangan devisa jumlahnya tidak banyak untuk mengimpor kebutuhan penduduk yang jumlahnya 270 juta jiwa.

Dari sektor energi, Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Tata Mustasya, mengatakan langkah pemerintah yang masih mengandalkan energi kotor batu bara untuk kelistrikan menyandera upaya transisi energi. Padahal, RI punya banyak sumber energi hijau yang bisa diandalkan untuk mewujudkan kemandirian energi.

Indonesia mengalami overcapacity listrik karena pembangunan pembangkit listrik dengan dasar proyeksi pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan permintaan listrik yang sangat overestimate. Sebagian besar pembangkit tersebut merupakan PLTU batu bara yang menghambat pengembangan EBT.

"Siapa yang bertanggung jawab kalau ada kelebihan pasokan listrik 6 GW, jangan dibebankan ke rakyat. Rakyat jangan disuruh menanggung dengan menaikkan daya mereka dari 450 volt amphere (VA) ke 900 VA dan dari 900 VA ke 1200 VA. Kelebihan kapasitas enam gigawatt (GW) ini terus berjalan dan berapa kerugian yang dialami kalau dikonversi ke rupiah. Berapa pula pembelian batu bara untuk menghasilkan listrik 6 GW itu. Berapa besar polusinya? Berapa besar lingkungan yang rusak, tetapi listriknya ternyata berlebih dan tidak digunakan. Kalau PLTU disetop operasinya, mau diapakan bangkai (aset) PLTU," katanya.

Sementara itu, tekanan dari berbagai negara di dunia untuk mengenakan pajak karbon (carbon tax) hingga saat ini belum didengar.

Peringatan akan hal itu sudah belasan tahun lalu dilakukan, tetapi anehnya PLN justru menghambat Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan juga EBT lainnya karena untuk menutupi kebijakan masa lalu yang jadi beban mereka.

Indonesia sendiri sudah ikut berpartisipasi pada konferensi perubahan iklim (COP) yang digagas PBB sejak pertama, tetapi faktanya terus menambah karbon dengan menambah pembangunan PLTU. Keterlibatan di COP sepertinya hanya basa-basi, karena di dalam negeri terus membangun PLTU berbasis fosil. Inilah bencana yang diciptakan sendiri karena sudah berapa GW pembangkit listrik fosil yang dibangun sejak menandatangani COP.

"Kalau pemerintah tidak mau serius, pada 5 hingga 10 tahun lagi kita akan dapat tekanan untuk membayar carbon tax. Tarif carbon tax yang kita terapkan hanya basa-basi, cuma dua dollar AS per ton, itu pun masih ditunda, sedangkan negara-negara lain memastok tarif sekitar 100 dollar AS per ton," katanya.

Di masa mendatang, Indonesia, jelasnya, tidak akan dapat pinjaman, kecuali dari green bond. Sementara Indonesia sudah tidak bisa hidup tanpa utang. Pemerintah pun sudah tidak punya lagi anggaran untuk PLN. "Pengusaha batu bara banyak diuntungkan dari PLN, tetapi saat PLN kesulitan mereka lari," katanya.

Tata memaparkan pertumbuhan PLTU batu bara di Indonesia mencapai 44 persen dari 2015 hingga 2020. Pertumbuhan itu linear dengan dominasi energi batu bara dalam sistem kelistrikan nasional. Tercatat 88 persen listrik Indonesia masih berasal dari pembakaran bahan bakar fosil. Bahkan, batu bara masih mendominasi bauran listrik hingga 2030 dengan kontribusi 59,4 persen.

Barang Impor

Sementara itu, Pengamat Ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, mengatakan pangan dan energi itu dasar utama kebutuhan bangsa. Jika dua hal itu tidak dimiliki bangsa besar seperti Indonesia, tidak ada yang bisa diharapkan bagi masa depan RI yang sudah terperangkap dalam low middle income trap.

"Dua hal itu tidak dimiliki RI. Jangan lagi bicara industri, produksi dasar saja kita tidak punya sehingga tidak heran sebagian besar barang di online shop itu impor," kata Salamuddin.

Selama ini, pemerintah terbuai dengan utang di atas utang. Penarikan pinjaman digunakan untuk membayar utang obligasi rekap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Posisi utang luar negeri (ULN) bersih pada kuartal II-2022 sudah mencapai 403 miliar dollar AS.

"Negara malah mensubsidi perampok BLBI dengan beban bunga 400 triliun rupiah per tahun sampai dengan 2043. Itu baru bunga, belum pokok," katanya.

Pemerintah juga terbuai dengan ekspor bahan baku, sehingga mati-matian menarik investor industri sekunder yang berbahan baku mentah. Padahal itu susah karena tidak bisa dibangun dalam sekejap, apalagi di zaman resesi seperti sekarang.

"Kalau kita tidak mau akui bahwa stagflasi adalah kenyataan yang harus kita hadapi maka tidak akan ketemu obatnya," katanya.

Pemerintah, tambahnya, jangan terlalu membanggakan bahwa Indonesia akan menjadi ekonomi terbesar keempat dunia pada 2045 mendatang atau tepat pada saat Indonesia berumur satu abad.

"Ingat ada siklus, demografi bisa berubah, makin menua dan tidak produktif. Jepang saja yang sangat kuat, sekarang terguncang karena demografi, begitu pula dengan Singapura," pungkasnya.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top