Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Diskriminasi Sawit I Perkebunan Kelapa Sawit RI Dibuka di Lahan Tidur, Bukan Hutan Primer

RI Butuh Persiapan Matang ke WTO

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

UE pintar karena tidak melarang sawit secara langsung, tetapi menurunkan insentif bagi negara-negara anggota yang menggunakan biofuel dari sawit.

Jakarta - Pemerintah Indonesia diharapkan bisa memanfaatkan data dan hasil riset sawit di dalam negeri untuk menjadi dasar ilmiah saat melayangkan gugatan ke Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO).

"Penelitian-penelitian seperti tentang emisi karbon dan sawit sudah cukup banyak di dalam negeri, jadi kita berharap itu bisa menjadi dasar bagi kita untuk mengatakan bahwasanya sawit itu juga bisa berkelanjutan," kata Kepala Bidang Pusat Penelitian Kelapa Sawit PT Riset Perkebunan Nusantara (RPN), Suroso Rahutomo, di Jakarta, Kamis (4/4).

Dia menjelaskan penelitian, hasil riset dan data yang dikumpulkan BUMN tersebut serta dilakukan oleh berbagai pihak di dalam negeri, bisa digunakan sebagai dasar ilmiah untuk melayangkan gugatan terkait diskriminasi sawit oleh Uni Eropa (UE) ke WTO.

"Data-data ilmiah kita yang mungkin masih terserak dimana-mana mungkin bisa dihimpun dalam satu pusat informasi untuk membantu Indonesia saat melayangkan gugatan di WTO," tutur Suroso.

Selain itu, Suroso juga ingin prinsip-prinsip dalam sustainable development goals (SDG) yang bisa dipenuhi oleh sawit betul-betul bisa dieksplorasi, seperti peningkatan taraf hidup masyarakat di area sawit.

"Hal-hal seperti inilah yang perlu lebih diekspos lagi, bahwasanya sawit itu tidak hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan besar, namun pada kenyataannya juga masyarakat. Itulah yang menurut saya perlu ditekankan," katanya.

Isu kampanye hitam atas sawit berkembang setelah parlemen Eropa menerbitkan Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests yang disampaikan di Starssbourg, Prancis, pada 4 April 2017. Dalam laporan itu disebutkan sawit adalah komoditas yang sangat berkaitan dengan deforestasi, korupsi, eksploitasi pekerja anak, dan penghilangan hak masyarakat adat. Selain itu, Parlemen Eropa lalu membahas Indirect Land Use Change (ILUC) sebagai elemen dalam penghitungan jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) dari biofuel.

Lahan Tidur

Suroso mengungkapkan perkebunan-perkebunan kelapa sawit dibuka di area-area yang merupakan lahan tidur, bukan hutan primer. Dia Suroso menilai alasan UE melakukan diskriminasi sawit karena komoditas itu menciptakan deforestasi dan pada akhirnya meningkatkan emisi karbon, karena Eropa berpegang pada penghitungan emisi karbon yang seolah-olah bahwasanya semua perkebunan sawit dibuka dari hutan primer.

Sebelumnya, Pengamat Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Imaduddin Abdullah, menyarankan agar pemerintah Indonesia menyiapkan dasar gugatan ke WTO terkait diskriminasi UE terhadap sawit. Imaduddin menjelaskan biofuel yang bersumber dari sawit tidak akan dianggap oleh UE sebagai energi terbarukan. Sebab, biofuel dari sawit justru dianggap meningkatkan ILUC dan akhirnya mendorong emisi.

Hal tersebut yang perlu menjadi dasar gugatan ke WTO. UE pintar karena tidak melarang sawit secara langsung. Tapi ini menurunkan insentif bagi negara-negara anggota untuk menggunakan biofuel dari sawit. Pengamat INDEF itu juga menilai secara akademik tidak bisa dipungkiri sebetulnya Indonesia memiliki pegangan kuat bahwa sawit lebih produktif dan tidak serta merta menyumbang terhadap perubahan penggunaan tanah dan akhirnya berkontribusi pada emisi karbon. Ant/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top