Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

RI Bereaksi! Disinggung Soal Perdagangan Manusia, Ada Apa Tiba-tiba Kemlu Semprot Amerika Tidak Bisa Dipercaya

Foto : BT

Ilustrasi

A   A   A   Pengaturan Font

Kementerian Luar Negeri (Kemlu) melalui menyatakan laporan perdagangan manusia yang dikeluarkan Amerika Serikat (AS) setiap tahunnya disusun tidak transparan.

Hal itu disampaikan langsung oleh Juru Bicara Kemlu Teuku Faizasyah, dalam jumpa pers virtual, pada Kamis (21/7). Teuku menyebut laporan itu dibuat AS tanpa parameter yang jelas sehingga tidak kredibel.

"Laporan sejenis ini adalah laporan dasar satu negara yang bersifat unilateral, tanpa parameter yang jelas, dan proses penyusunannya pun tidak transparan," kata Faizasyah.

Faizasyah pun menuturkan apabila laporan itu cenderus disusun berdasarkan rivalitas antara AS dan kekuatan besar lainnya.

"Akan lebih berbahaya lagi jika laporan-laporan serupa ini dilatarbelakangi pula oleh semangat rivalitas antara kekuatan besar," katanya.

"Dalam kaitan ini, dan di tengah situasi dunia yang sedang menghadapi banyak tantangan, sudah selayaknya negara-negara mengembangkan kerja sama, memperkuat solidaritas dan kapasitas, demi dunia yang damai, stabil, dan berkemakmuran."

Dalam laporan yang rutin dirilis tiap tahun, AS membeberkan kondisi perdagangan manusia di banyak negara termasuk Indonesia.

Indonesia dilaporkan AS masuk dalam kategori negara dengan masalah perdagangan manusia Tingkat 2 atau perlu diperhatikan.

Adapun pemerintah negara yang berada dalam kategori itu dianggap tidak memenuhi indeks UU Perlindungan Korban Perdagangan Manusia Tahun 2000 (TVPA), tetapi sudah berupaya memenuhi standar tersebut.

Dalam laporannya, AS menjelaskan bahwa negara-negara yang masuk dalam kategori itu cenderung tidak mampu menangani masalah perdagangan manusia secara konkret dan dinilai gagal memberikan bukti dalam menangani berbagai masalah perdagangan manusia sejak tahun lalu, seperti meningkatkan penyelidikan dan penuntutan.

Mereka juga disebut AS mengalami kenaikan angka korban perdagangan manusia secara signifikan.

Faizasyah menegaskan bahwa Indonesia sangat berkomitmen untuk mengatasi masalah perdagangan manusia, salah satunya melalui program Bali Process bersama Australia sejak 2002.

Ia menuturkan Bali Process akan menjadi forum untuk membahas kebijakan, pertukaran informasi, dan kerja sama untuk menyelesaikan masalah perdagangan manusia, penyelundupan dan kejahatan lintas negara.

"Saya menegaskan bahwa Indonesia sangat berkomitmen untuk isu-isu yang terkait dengan perdagangan manusia atau isu-isu kejahatan lintas negara terkait manusia," jelas Faizasyah.

Selain Indonesia, AS telah menambahkan Vietnam, Kamboja, Brunei sebagai negara ASEAN yang masuk ke dalam daftar hitam perdagangan manusia, menyusul Malaysia yang telah lebih dulu masuk daftar tersebut.

Vietnam diturunkan ke Tingkat 3, karena pemerintah membatalkan tuntutan terhadap pejabat yang diduga terlibat perdagangan manusia tahun lalu.

Laporan tersebut secara khusus menemukan kesalahan karena negara yang memiliki hubungan hangat dengan AS karena kekhawatiran mereka akan kebangkitan Tiongkok itu, tidak mengambil tindakan terkait perdagangan manusia.

Mereka disebut AS telah membiarkan seorang diplomat Vietnam dan anggota staf kedutaan di Arab Saudi yang dituduh terlibat dalam perdagangan beberapa warga negara mereka.

Sementara "korupsi endemik" di Kamboja telah menghambat upaya untuk membantu ribuan orang termasuk anak-anak yang diperdagangkan ke tempat hiburan, tempat pembakaran batu bata dan operasi penipuan online di Kamboja.

"Pihak berwenang sering mengabaikan, menyangkal atau meremehkan pelanggaran tenaga kerja - termasuk pekerja anak paksa - di pabrik dan di tempat pembakaran batu bata dan berkolusi dengan produsen batu bata untuk menangkap, memenjarakan dan mengembalikan pekerja kontrak yang berusaha melarikan diri," kata laporan itu.

Sedangkan, pemerintah Brunei disebut AS tak memenuhi standar minimal penghapusan perdagangan manusia dan tak mengambil langkah yang signifikan.

Laporan itu menuturkan bahwa pemerintah tidak menghukum pelaku yang terlibat dalam perdagangan manusia di bawah undang-undangnya selama lima tahun berturut-turut.

Pemerintah juga tak mengidentifikasi korban perdagangan manusia selama dua tahun berturut-turut.

"Pemerintah terus menahan, mendeportasi, dan menuntut calon korban atas kejahatan tanpa menggunakan pendekatan yang berperspektif korban guna membedakan apakah pelaku perdagangan memaksa korban untuk melakukan perbuatan melawan hukum," bunyi laporan itu.

Kari Johnstone, seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri yang bertugas memerangi perdagangan manusia, mengatakan bahwa beberapa pemerintah Asia dimasukan dalam daftar tidak menunjukkan kemajuan dalam menangani isu perdagangan manusia di negaranya.

"Sayangnya, ada sejumlah negara tahun ini di kawasan itu yang tidak melakukan upaya peningkatan," katanya kepada wartawan seperti dikutip dari South China Morning Post.


Editor : Fiter Bagus
Penulis : Suliana

Komentar

Komentar
()

Top