Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Respons Pasar atas Hitung Cepat

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

oleh Hemat Dwi N

Pelaksanaan hitung cepat lembaga survei atas Pemilu 2019 menimbulkan polemik, utamanya pilpres. Pelaksanaan hitung cepat dan exit poll hasil pemilu atau quick count sejak pukul 15.00 WIB sebenarnya sudah sesuai dengan undang-undang (UU). Berdasarkan UU Pemilu, hasil quick count baru boleh disiarkan mulai pukul 15.00 WIB, dua jam setelah pemungutan suara ditutup waktu Indonesia bagian barat. Ketentuan tersebut sempat digugat Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) ke Mahkamah Konstitusi (MK). ARORI menggugat Pasal 449 (Ayat 2,5), Pasal 509 dan Pasal 540 tentang rentang waktu penyiaran hasil hitung cepat dan larangan pengumuman prakiraan hasil survei di masa tenang, namun gugatan tersebut ditolak MK.

Penghitungan suara hasil pemilu, utamanya pilpres, rawan, dan akan direspons pasar secara signifikan. Kerawanan harus bisa dieleminasi. Penyelenggara pemilu harus bisa memberi kepastian dan akurasi perkembangan penghitungan suara agar berdampak baik pada psikologi rakyat dan pasar. Apalagi jika selisih perolehan suara capres tipis. Hal ini semakin menimbulkan kerawanan dan mempengaruhi stabilitas. Maka, KPU dan pihak terkait pemilu perlu mengantisipasi sebaik-baiknya terkait dengan sistem informasi dan tabulasi nasional penghitungan suara.

Kepastian gambaran pemenang pilpres secara dini bisa merespons sentimen positip pasar. Hal itu ditunjukkan sehari setelah pemungutan suara Pemilu 2019, indeks harga saham gabungan (IHSG) naik 87,30 poin atau 1,35 persen ke posisi 6.568,85 pada pembukaan perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) Kamis (18/4).

Meski belum diketahui secara pasti pemenang pilpres, pasar merespons positif hasil hitung cepat. Pengalaman menunjukkan, IHSG pernah merespons negatif hasil pemilu legislatif (pileg) 2014. Sebab persentase hasil pileg tidak sesuai dengan harapan pasar lantaran tidak ada parpol yang memperoleh suara dominan. Pada saat itu, indeks sempat turun hingga 132 poin atau 2,76 persen.

Tak bisa dimungkiri lagi, penghitungan suara pilpres cukup krusial. Real count pilpres perlu dipastikan secara cepat dengan memperbaiki prosedur dan menyiapkan perangkat teknologi untuk meningkatkan kredibilitas penghitungan suara. Ketidaksabaran masyarakat dan pasar modal untuk secepatnya mengetahui pemenang pilpres sebaiknya difasilitasi sebaik-baiknya.

Melihat tingginya animo publik dan pelaku usaha, keniscayaan diterapkan metode exit poll di TPS yang sangat bermanfaat untuk mengetahui preferensi pemilih secara cepat. Metode exit poll negara-negara maju menjadi tolok ukur kemenangan peserta pemilu. Metodenya bertanya langsung ke pemilih setelah keluar TPS.

Dia bisa mengobati rasa ingin tahu publik terkait perhitungan suara berjenjang yang lambat sehingga kurang cepat memberi informasi ke warga. Untuk memberi kepastian sistem dan infrastruktur rekapitulasi elektronik KPU harus canggih. KPU bisa mencontoh lembaga survei penyelenggara quick count.

Saat ini, beberapa penyelenggara hitung cepat berbasis Android dan gadget lainnya untuk melayani publik. Selain itu, aplikasi berbasis Android tersebut membantu relawan menjalankan tugasnya sebagai pemantau dan pengawas pemilu. Mereka bisa mengirimkan hasil penghitungan suara dari TPS baik berupa data audio, video, maupun teks.

Pengalaman

Dari pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya, penghitungan suara sejak TPS hingga rekapitulasi suara nasional rawan, sehingga harus dikawal menggunakan metode praktis baik oleh saksi parpol, pemantau pemilu, maupun sukarelawan. Misalnya, teknologi informasi KPU pada Pemilu 2014 belum bisa diandalkan dapat memberi hasil pemilu secara cepat. Teknologi KPU berupa aplikasi yang dilengkapi scanning formulir C1 di setiap TPS.

KPU pada hari H Pemilu 2019 mestinya mampu menyajikan hitung cepat atau real count dalam sistem tabulasi nasional online. Tabulasi bisa tersaji tidak lama setelah TPS menyelesaikan penghitungan suara. Dengan demikian, rakyat bisa menikmati pesta demokrasi dan pasar juga cepat mereaksi bisa melahirkan sentimen positif.

Lembaga survei selalu mengeklaim, hasil hitung cepat dilakukan dengan simpangan kesalahan (margin of error) 1 persen. Artinya, bertambah atau berkurang sekitar 1 persen. Penghitungan suara merupakan fase krusial dalam tahapan pemilu, apalagi dilakukan serentak. Hal ini tentunya sangat melelahkan dan rumit bagi petugas.

Publik menuntut KPU mampu mengimbangi hitung cepat pihak eksternal dengan menyempurnakan prosedur dan menyiapkan perangkat TI pemilu untuk meningkatkan kredibilitas penghitungan suara seperti proteksi dan monitoring hologram formulir C1 di TPS. Scanning atau pemindaian C1 di setiap TPS serta memberi kesempatan warga mengambil gambar tabulasi hasil peghitungan suara seperti sekarang.

Masih ada yang kurang percaya dengan TI KPU karena belum melalui uji penerimaan. KPU juga belum menerapkan IT audit secara tuntas hingga penyelengara pemilu terendah karena waktu atau tahapan pemilu terlalu mepet. Maka, kelak perlu dipersiapkan lebih baik. Kekecewaan publik terhadap TIK Pemilu wajar karena hasil pemilu 2009 dan 2014 yang ditampilkan dari Tabulasi Nasional Pemilu (TNP) ternyata tertatih-tatih.

Bahkan, sempat tiba-tiba jumlah suara yang masuk melonjak puluhan juta. Beberapa kali sistem juga harus direset ke posisi ekstrem, dan terhenti beberapa jam.

Pengalaman kurang baik ini, proses tabulasi lima hari, data yang ditayangkan di tabulasi KPU masih minim. Saat itu, KPU menyatakan biang kerok kegagalan tabulasi online sistem Intelligent Character Recognition (ICR). Kegagalan sistem input data suara Pemilu dengan mesin pemindai berbasis ICR mestinya tidak boleh terulang. Apalagi pada saat ini adalah pemilu serentak yang tentunya banyak formulir yang mesti dikirimkan.

Langkah KPU dengan pemindai untuk mengelola hasil pemungutan suara di setiap TPS perlu persiapan TI yang matang. Sistemnya harus diuji publik. Penggunaan teknologi OMR/DMR harus maturitas. Jangan sampai sistem KPU justru menimbulkan kerawanan. Patut digarisbawahi, pemindahan form C1 ke dalam format C1-IT sangat rawan dan sulit diawasi.

Perlu solusi alasan belum optimalnya penerapan ICR dalam pemilu lalu seperti scaning form C1 dari setiap TPS. Scanning 30 detik menjadi bottleneck karena penerapan teknologi ICR saat validasi data, sehingga gagal sebagai sarana hitung cepat dan pembanding/kontrol hitungan manual.

Sengketa hasil pemilu juga kebanyakan karena proses rekapitulasi tingkat kecamatan (PPK)) dengan cara memanipulasi formulir C-1. KPU diharapkan bisa menyajikan penghitungan suara secara cepat, selain yang berjenjang. Bahkan rekapitulasi dilengkapi pemetaan data pemilu dalam sistem informasi geografis atau Geographic Information System (GIS).

Sistem tersebut sangat berguna merangkai perkembangan hasil pemilu. Bahkan, sistem penghitungan perolehan suara kandidat presiden AS dipadukan dengan Google Map, sehingga pemakai internet bisa menikmati pesta demokrasi bermutu tinggi. Penulis Lulusan UPS Toulouse Prancis

Komentar

Komentar
()

Top