Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Ketahanan Pangan

Regulasi Lebih Berpihak ke Barang Impor Ketimbang Petani

Foto : ISTIMEWA

DWI ANDREAS SANTOSA Guru Besar IPB - Saat ini, dua komoditas yang unregulated (tidak diatur) yakni kedelai dan gandum. Akibatnya, petani dalam negeri tidak mau menanam kedelai karena harganya pasti kalah dengan kedelai impor.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Instruksi Presiden kepada para pembantunya untuk mengurangi kebergantungan pada produk impor terutama kedelai belum bisa dijalankan hanya dengan menggenjot petani agar meningkatkan produksi. Sebab, masalah utama yang menghambat produksi selama ini ada pada regulasi yang dikeluarkan pemerintah.

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, mengatakan pemerintah khususnya Menteri Keuangan (Menkeu) harus mencabut Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 133/PMK.011/2013 yang ditandatangani Menkeu pada 3 Oktober 2013 yang tidak mengenakan tarif atau 0 persen untuk impor kedelai.

"Saat ini, dua komoditas yang unregulated (tidak diatur) yakni kedelai dan gandum. Akibatnya, petani dalam negeri tidak mau menanam kedelai karena harganya pasti kalah dengan kedelai impor," kata Dwi.

Harga kedelai impor sampai di Pelabuhan Tanjung Priok 9.900 rupiah per kilogram. Dengan adanya tren penurunan harga kedelai global maka harga kedelai impor bisa turun lagi ke 7.700 rupiah, bahkan bisa 6.700 rupiah per kg.

Harga tersebut berbanding terbalik dengan produksi lokal. Biaya produksinya saja sudah tinggi, yakni 10-13 rupiah per kg, apabila petani menanam di lahan yang disewa dan 8-10 ribu rupiah kalau menanam di lahan sendiri.

"Sebenarnya kemarin petani sudah mau tanam begitu harga 12-13 ribu rupiah per kg di tingkat konsumen, tetapi anehnya pemerintah tidak mampu menjaga itu. Pemerintah membuat kebijakan seakan-akan mereka yang punya lahan, mereka yang tanam," kata Dwi.

Solusinya, kata Dwi, tidak cukup dengan mendorong produksi, tetapi harus mengenakan tarif untuk impor kedelai.

Sementara itu, Peneliti Ekonomi Indef, Nailul Huda, mengatakan kedelai memang salah satu sektor yang problematik karena kapasitas produksinya masih relatif rendah dan kadang kualitas yang dihasilkan masih belum beragam.

Contohnya besaran dari masing-masing kedelai yang tidak seragam, sehingga menyulitkan untuk industri tempe. Akhirnya, mereka cenderung memilih kedelai impor sebagai bahan baku.

"Jadi bukan cuman alasan harga, namun kualitas juga. Kapasitas produksi juga harus ditingkatkan dan saya rasa bisa masuk ke dalam salah satu fokus program food estate," jelas Nailul.

Dihubungi terpisah, Peneliti Ekonomi dari Center for Strategiest for International Studies (CSIS), Fajar B. Hirawan, mengatakan pemerintah tampaknya tidak terlalu paham definisi ketahanan pangan dan pilarnya. Dalam pemenuhan kebutuhan pangan nasional, memang harus dipastikan ketersediaannya (availability). Selain itu, ada pilar lain, yaitu akses (accessibility). Akses bukan hanya perbaikan distribusi logistik/transportasi, tetapi juga pengaturan impor.

Selalu Waspada

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto usai bertemu membahas tindaklanjut instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Jakarta, Selasa (20/9), sepakat bahwa semua lembaga negara selalu waspada, berhati-hati dan siaga di tengah kondisi dunia yang tidak menentu. Kemandirian ekonomi dan ketahanan nasional merupakan pilar paling penting dalam mewujudkan cita-cita dan perjuangan bangsa Indonesia.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top