Reformasi Struktural Harus Menyasar Pembiayaan Perbankan
Bank Indonesia
Foto: ISTIMEWA» Sistem perbankan yang tidak efisien akan menghambat transmisi kebijakan moneter dan fiskal.
» Perbankan harus mampu menyediakan pembiayaan inklusif dengan menurunkan NIM sehingga cost of fund lebih murah.
JAKARTA - Reformasi struktural yang digaungkan pemerintah tidak akan efektif tanpa diikuti transformasi di sektor jasa keuangan khususnya perbankan nasional. Portofolio perbankan yang cukup besar ke properti yang kerap menjadi ajang spekulasi para debitor berpotensi memicu bubble (penggelembungan) ekonomi dengan mengerek harga properti "gila-gilaan".
Peneliti Pusat Riset Pengabdian Masyarakat (PRPM) Institut Shanti Bhuana, Bengkayang, Kalimantan Barat, Siprianus Jewarut, mengatakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) harus diminta terbuka soal kredit properti yang tercatat sekitar 1.500 triliun rupiah. Otoritas itulah yang bertanggung jawab karena memfasilitasi bank dengan margin yang "gila-gilaan". "Reformasi struktural tidak bisa dari pemerintah saja, tapi juga dari perbankan yang telah menyalurkan kredit ke properti sampai bubble. OJK jangan mengorbankan rakyat dengan spread margin sampai 100 persen lebih, yang di negara lain itu tidak ada.
Tapi, rakyat dikorbankan dengan bunga deposito rendah," kata Siprianus. Pemerintah sebenarnya tahu kondisi tersebut, tetapi terkesan dibiarkan dengan menutup satu mata, karena para pelakunya di sektor properti adalah kroninya. Oleh karena itu, reformasi struktural tanpa melibatkan perbankan bisa dipastikan tidak akan bisa berjalan. "Ingat krisis 1998 itu terjadi karena perbankan yang difasilitasi oleh BI. Kalau sekarang ini tidak belajar dari pengalaman sebelumnya, maka RI tidak akan sembuh. Sebab, kerugian besar perbankan akan menumpuk dari kredit macet. Obligasi Rekap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) itu kejahatan yang berulang-ulang," paparnya.
Dalam kesempatan lain, Manajer Riset Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Badiul Hadi, mengatakan perbankan adalah elemen penggerak utama yang tidak bisa dipisahkan dari reformasi secara keseluruhan. "Kalau reformasi hanya fokus pada sektor riil tanpa membenahi sektor keuangan/ perbankan, maka efektivitas reformasi akan terbatas dan rentan gagal karena fondasi keuangan yang rapuh," tegas Badiul. Oleh sebab itu, Badiul mengatakan bahwa sektor perbankan harus direformasi untuk mendukung inklusi keuangan, stabilitas sistem keuangan, dan ketahanan ekonomi jangka panjang.
UMKM Terpinggirkan
Sektor perbankan, papar Badiul, memainkan peran krusial sebagai penopang utama stabilitas dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Tanpa reformasi yang menyeluruh di sektor itu, upaya reformasi struktural di bidang lain, seperti industri, perdagangan, dan sektor riil akan terhambat karena keterbatasan dukungan keuangan. Reformasi struktural pada umumnya menargetkan peningkatan investasi, penciptaan lapangan kerja, dan produktivitas.
Namun, jika sektor perbankan tidak direformasi maka akses kredit dan pendanaan untuk sektor riil akan tetap sulit, terutama bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang sering terpinggirkan dalam sistem keuangan yang tidak inklusif. "Sistem perbankan yang tidak efisien akan menghambat transmisi kebijakan moneter dan fiskal," tegasnya.
Kebijakan suku bunga atau stimulus fiskal yang dicanangkan pemerintah tidak akan tersalurkan dengan baik jika sistem perbankan masih menghadapi permasalahan seperti non performing loans (NPL), tata kelola yang lemah, atau kebijakan pinjaman yang tidak berorientasi pada pertumbuhan produktif. Sementara itu, peneliti ekonomi Celios, Nailul Huda, mengatakan salah satu elemen untuk menunjang pembangunan ekonomi adalah sektor keuangan. Jika sektor keuangan kuat dalam menyalurkan pembiayaan ke perekonomian, maka sektor lainnya akan berjalan dengan cepat.
"Pembiayaan dari perbankan ibarat darah bagi tubuh di mana dengan pembiayaan yang inklusif peredaran lancar, tubuh menjadi sehat. Maka, sektor perbankan perlu ditunjang dengan reformasi perbankan," ungkap Huda. Perbankan harus mampu menyediakan pembiayaan yang inklusif. Mulai dari mana? Mulai dari menurunkan Net Interest Margin (NIM) atau marjin bunga bersih, sehingga cost of fund lebih murah. Namun, penurunan NIM juga perlu dukungan dari pemerintah seperti penurunan suku bunga obligasi pemerintah sehingga investasi di perbankan bisa bersaing.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Indonesia Tunda Peluncuran Komitmen Iklim Terbaru di COP29 Azerbaijan
- 2 Electricity Connect 2024, Momentum Kemandirian dan Ketahanan Energi Nasional
- 3 Penerima LPDP Harus Berkontribusi untuk Negeri
- 4 Ini yang Dilakukan Kemnaker untuk Mendukung Industri Musik
- 5 Tim Putra LavAni Kembali Tembus Grand Final Usai Bungkam Indomaret
Berita Terkini
- Pemkab Bantul sebut pelaku usaha perikanan adalah pahlawan pangan
- Kasdam Brigjen TNI Mohammad Andhy Kusuma Buka Kejuaraan Nasional Karate Championship 2024
- BNI Kantongi Gold Rank ASRRAT 4 Tahun Berturut-turut
- World Plastics Council and Global Plastics Alliance Minta Akhiri Polusi Plastik
- Lima Remaja Diamankan Polisi Saat Hendak Tawuran di Jakarta Barat