Senin, 11 Nov 2024, 15:30 WIB

Refleksi Kurikulum Merdeka, Buku Cerita Anak Perkuat Literasi Siswa

Ilustasi.

Foto: The Conversation/Shutterstock/Jorm Sangsorn

Nilam Pamularsih, University of Adelaide

Indonesia baru saja melantik Presiden Prabowo Subianto beserta kabinet barunya, termasuk Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti. Beberapa hari setelah pelantikannya, muncul rencana bahwa Abdul Mu’ti akan melakukan review terhadap Kurikulum Merdeka yang saat ini berlaku.

Keputusan Abdul Mu’ti ini berdasarkan pada laporan bahwa Kurikulum Merdeka masih belum dapat diimplementasikan secara optimal. Pasalnya, banyak guru di lapangan merasa belum sepenuhnya siap dengan pendekatan baru ini, terutama karena terbatasnya pelatihan yang komprehensif untuk menguasai metode pembelajaran yang diusung kurikulum ini.

Selain itu, akses terhadap sarana pendukung seperti internet dan perangkat digital yang diperlukan untuk menunjang pembelajaran berbasis proyek juga belum merata di berbagai daerah.

Namun, terdapat beberapa bagian dari Kurikulum Merdeka yang penting untuk dipertahankan. Salah satunya adalah penggunaan buku cerita anak yang telah terbukti berhasil meningkatkan literasi anak.

Peran buku cerita anak dalam meningkatkan literasi

Buku cerita anak memiliki peran vital dalam pengembangan literasi dan pendidikan karakter siswa. Buku cerita yang berkualitas mampu menarik minat baca siswa sejak usia dini, membangun kebiasaan membaca, serta meningkatkan pemahaman bahasa yang pada akhirnya berkontribusi terhadap kemampuan literasi mereka.

Pemerintahan sebelumnya telah menyadari pentingnya buku cerita dalam upaya peningkatan literasi nasional. Penyediaan buku bacaan berkualitas di perpustakaan sekolah dan pojok-pojok baca menjadi salah satu program prioritas, yang sejalan dengan visi besar meningkatkan kemampuan literasi anak-anak Indonesia. Melalui program tersebut, lebih dari 15 juta buku bacaan telah didistribusikan ke lebih dari 20 ribu lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Sekolah Dasar (SD) di daerah-daerah terpencil dan tertinggal. Langkah ini bukan hanya mendukung kurikulum tetapi juga menjadi bagian dari misi pemerataan akses literasi di seluruh Indonesia.

Program penyediaan buku cerita ini didukung oleh banyak penelitian yang menunjukkan bahwa paparan terhadap buku cerita bermutu memiliki dampak signifikan terhadap kemampuan literasi siswa. Membaca buku cerita tidak hanya mengembangkan keterampilan membaca dasar tetapi juga meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan imajinasi anak.

Penelitian menunjukkan bahwa siswa yang terpapar cerita bergambar secara rutin menunjukkan peningkatan signifikan dalam pemahaman dan kemampuan membaca. Buku cerita mendorong anak untuk tidak hanya memahami kata dan kalimat, tetapi juga menghubungkan konsep dalam cerita dengan dunia nyata, sehingga mengembangkan keterampilan pemahaman yang lebih dalam.

Selain itu, buku cerita dapat menjadi alat bagi guru untuk menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan interaktif. Dengan melibatkan anak dalam sesi membaca bersama atau bercerita, guru dapat memfasilitasi diskusi, bertanya jawab, dan mendorong siswa untuk menyampaikan pandangannya. Interaksi ini penting dalam membangun keterampilan komunikasi siswa sejak dini, dan pada akhirnya memengaruhi keterampilan literasi mereka secara keseluruhan.

Buku digital membantu pemerataan akses

Sayangnya, pemerataan akses terhadap bahan bacaan merupakan tantangan besar dalam upaya meningkatkan literasi siswa di Indonesia. Salah satu terobosan penting yang telah diupayakan pemerintah sebelumnya adalah penyediaan buku cerita digital.

Buku digital hadir sebagai solusi untuk mengatasi kendala distribusi dan biaya cetak buku fisik yang tinggi, terutama bagi sekolah-sekolah di daerah terpencil yang sulit dijangkau.

Buku cerita digital ini dapat diakses secara gratis melalui berbagai platform, seperti Let’s Read Asia, Literasi Cloud, dan SIBI dari Kemendikbud. Buku-buku ini juga tidak hanya mengutamakan aksesibilitas, tetapi juga kualitas: cerita dan ilustrasi yang tersedia di platform-platform tersebut disusun dengan standar tinggi yang setara dengan buku cetak.

Buku digital tersebut telah dikategorikan dan diatur berdasarkan jenjang kemampuan membaca siswa, sehingga siswa dapat memilih buku sesuai dengan tingkat baca mereka, membuat pengalaman membaca menjadi lebih efektif dan terarah.

Dengan akses yang mudah dan fleksibel, buku digital dapat menjadi alternatif strategis untuk meningkatkan keterlibatan siswa dalam kegiatan membaca serta membangkitkan minat baca mereka.

Perjuangan belum selesai

Meski telah ada upaya penyediaan buku bacaan berkualitas, tantangan literasi Indonesia masih cukup besar. Berdasarkan skor PISA, kemampuan literasi siswa Indonesia masih tertinggal di bawah rata-rata Organization for Economic Cooperation and Development (OECD)—organisasi internasional dari 38 negara yang berkomitmen pada demokrasi dan ekonomi.

Sementara itu, data asesmen nasional tahun 2021 menunjukkan bahwa 5 dari 10 siswa di tingkat SD hingga SMA belum mencapai kompetensi literasi minimum. Meskipun data asesmen nasional tahun 2023 menunjukkan sedikit perbaikan dengan hanya 4 dari 10 siswa yang belum mencapai standar, situasi ini masih menunjukkan darurat literasi.

Dengan demikian, dukungan terhadap buku bacaan bermutu perlu tetap menjadi prioritas dalam kebijakan pendidikan dari pemerintahan saat ini, apapun bentuk kurikulum yang diterapkan nantinya. Penekanan pada penggunaan buku cerita anak, baik cetak maupun digital, dapat membantu anak-anak memahami konsep literasi dengan lebih baik, meningkatkan keterampilan berpikir kritis, serta mengembangkan kemampuan bahasa dan komunikasi mereka.

Jadi, terlepas dari evaluasi kurikulum pendidikan yang dilakukan pemerintahan Prabowo, penekanan pada program literasi melalui buku cerita anak sebaiknya tetap menjadi perhatian utama. Sebab, penyelenggaraan pendidikan yang memberikan akses kepada buku cerita anak berkualitas merupakan investasi jangka panjang yang akan memperkuat kemampuan literasi generasi muda Indonesia.The Conversation

Nilam Pamularsih, PhD Researcher, University of Adelaide

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Redaktur: -

Penulis: -

Tag Terkait:

Bagikan: