M. Luthfi Khair A, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Belum lama ini, tepatnya pada 7 November, kita memperingati Hari Wayang Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2018. Sejarah Hari Wayang Nasional dimulai pada akhir 1990-an, ketika globalisasi menimbulkan kekhawatiran jika seni tradisional seperti wayang kulit bisa kehilangan eksistensinya di tengah arus perkembangan zaman.
Di bawah kepemimpinan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada waktu itu, Wardiman Djojonegoro, serta tokoh budaya R.M. Soedarsono, pemerintah mulai berupaya serius untuk mengangkat wayang kulit di kancah internasional.
Setelah melalui proses yang panjang, pada 7 November 2003 UNESCO menetapkan wayang sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity. Penetapan status ini diluncurkan oleh program UNESCO tahun 1997-2005 yang bertujuan untuk mengidentifikasi, melestarikan, dan meningkatkan kesadaran tentang bentuk-bentuk budaya tak benda yang dianggap sebagai mahakarya. Ini mencakup berbagai tradisi lisan, seni pertunjukan, ritual, upacara, dan keahlian tradisional yang bernilai luar biasa dalam memelihara identitas budaya masyarakat.
Lima tahun kemudian, tepatnya pada 4 November 2008, Wayang masuk daftar warisan budaya tak benda UNESCO dalam kategori Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity dengan judul The Wayang Puppet Theater. Program ini adalah kelanjutan dari program Masterpiece of the Oral yang selesai di tahun 2005.
Namun, tantangan wayang tidak berhenti sampai di sini. Di tengah perkembangan teknologi digital, wayang harus bersaing dengan dominasi budaya populer global yang lebih mudah diakses dan memiliki daya tarik yang lebih universal seperti musik, film atau video games.
Mengapa penting melestarikan wayang
Berakar dari kata ‘bayangan’ yang kemudian menjadi ‘wayangan’, wayang sudah ratusan tahun mengajarkan masyarakat untuk mengenali diri sendiri melalui pendidikan moral dan spiritual. Dalam wayang, dalang berperan sebagai komunikator etis yang menyampaikan nilai-nilai kebaikan, keadilan, dan kebijaksanaan melalui cerita-cerita klasik seperti Ramayana dan Mahabharata.
Para tokoh wayang, seperti Semar, Bisma, dan Krisna, digambarkan sebagai contoh karakter yang luhur, yang bisa menjadi cerminan ideal perilaku bagi masyarakat.
Clifford Geertz, antropolog dari Amerika Serikat (AS) yang melakukan studi pada masyarakat di Jawa, menyoroti dimensi spiritual dalam wayang yang memperkuat ikatan manusia dengan alam semesta dan entitas suci. Ia mencatat bahwa wayang membawa unsur sinkretisme yang menyatukan elemen-elemen agama Hindu, Buddha, dan Islam, sehingga menciptakan harmoni religius yang unik dalam konteks masyarakat pluralis Indonesia.
Pengakuan UNESCO bahwa wayang adalah warisan budaya tak benda dunia, menegaskan nilai universalnya sebagai media yang menyampaikan ajaran-ajaran moral lintas generasi dan budaya. Wayang berperan sebagai “agen komunikasi sosial” yang berfungsi menyampaikan kritik sosial serta pandangan politik secara terselubung. Ini menjadikan wayang bukan hanya sebagai seni pertunjukan, tetapi juga sebagai alat perlawanan budaya yang mampu menyesuaikan diri dengan konteks zaman.
Tantangan wayang masa kini
Kesenian tradisional seperti wayang tengah menghadapi tiga tantangan kompleks akibat perubahan dinamika sosial, budaya, dan ekonomi di era modern.
1. Dominasi budaya populer global
Dalam dunia yang semakin terhubung oleh internet, contohnya, kesenian tradisional sering kali terpinggirkan oleh dominasi budaya populer global yang lebih mudah diakses dan memiliki daya tarik yang lebih universal.
Musik pop mancanegara, film mancanegara, video games, dan bentuk hiburan digital lainnya sering kali lebih menarik perhatian generasi muda dibandingkan kesenian tradisional.
2. Komodifikasi seni
Komodifikasi seni juga menjadi tantangan besar.
Arjun Appadurai, antropolog budaya kontemporer dari India, mengartikan komodifikasi sebagai sebuah komoditas yang sebelumnya tidak bernilai ekonomi, dimodifikasi menjadi komoditas yang memiliki nilai ekonomi agar dapat diperdagangkan di pasar.
Ketika sebuah seni tradisional diproduksi berdasarkan hukum pasar bebas, muncul risiko hilangnya nilai-nilai filosofis dan makna terdalam demi memenuhi permintaan pasar. Chris Barker, seorang peneliti budaya dari Australia, menyebut hal ini sebagai “pergeseran dari sakral ke profan”, yaitu ketika seni yang awalnya memiliki fungsi spiritual atau sosial berubah menjadi sekadar produk konsumsi.
3. Perubahan pola hidup masyarakat
Kesenian tradisional, yang sering kali membutuhkan waktu, ruang, dan komunitas tertentu untuk tampil, mulai kehilangan panggungnya di tengah gaya hidup modern yang serba cepat dan individualistis.
Di beberapa daerah, contohnya, urbanisasi telah menyebabkan hilangnya ruang-ruang publik tradisional, seperti alun-alun dan balai desa, yang biasanya menjadi tempat pertunjukan seni. Ini menyebabkan kurangnya regenerasi pelaku seni tradisional yang kemudian menambah ancaman bagi kelangsungan seni wayang.
Selain itu, banyak generasi muda yang tidak tertarik untuk mempelajari atau melanjutkan seni wayang karena dianggap kuno atau tidak relevan dengan masa kini. Kurang memadainya sarana untuk proses regenerasi budaya seperti pelatihan dan pendidikan formal tentang seni wayang, baik di sekolah maupun institusi pendidikan seni, memperparah hal ini.
Agar tak lekang ditelan zaman
Penelitian tahun 2023, menyebutkan bahwa saat ini, visi dalang terbagi menjadi dua. Ada dalang yang mengedepankan aspek wayang hanya sebagai tontonan dengan menggabungkan unsur biduan dangdut serta komedian, dan dalang yang konsisten menjadikan wayang sebagai tuntunan tanpa unsur tontonan (hiburan).
Kedua aliran tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dalang yang mengedepankan aspek hiburan sangat populis, digemari berbagai kalangan, dan banyak panggung yang menginginkannya. Namun, aliran ini memiliki risiko berupa hilangnya nilai-nilai sakral dan filosofis dari pertunjukan wayang.
Di sisi lain, dalang yang mengedepankan aspek keaslian pertunjukan wayang dan esensi filosofisnya, seringkali dianggap sebagai dalang yang kuno dan jarang ditonton banyak orang, sehingga memiliki risiko ‘punah’.
Perbedaan pendapat ini harus ditengahi agar pelestarian seni wayang tidak keluar dari jalurnya.
Jurgen Habermas (1988), seorang filsuf dari Jerman, melalui pendekatan ‘tindakan komunikatif’ menekankan pentingnya saling memahami melalui dialog yang rasional.
Dengan menerapkan pendekatan ini, para dalang dapat berdiskusi mengenai strategi pelestarian wayang sembari mengeksplorasi inovasi yang bertanggung jawab. Proses dialog ini juga diharapkan dapat membantu para dalang memahami peran ganda mereka sebagai agen budaya sekaligus penghibur modern, sehingga wayang dapat berkelanjutan tanpa kehilangan esensinya sebagai seni moral dan filosofis.
Salah satu contohnya adalah program televisi Bukan Sekedar Wayang yang dipandu oleh pelawak Sule dan dalang Dadan Sunandar Sunarya. Program ini sukses membawakan seni wayang golek yang menghibur, tetapi tetap memberikan pesan moral dalam setiap ceritanya.
Para pelaku seni wayang juga bisa membuat konsensus standar etika untuk inovasi, sehingga bisa menyelaraskan pertunjukan mereka dengan peran tradisional wayang sebagai sumber panduan moral. Sebab, sebagai sebuah kesenian, wayang tetap bisa beradaptasi dengan tren yang sedang berkembang, seperti Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR).
Adaptasi wayang ke dalam platform digital tersebut dapat memberikan akses yang lebih luas kepada audiens global, sehingga eksistensi seni wayang bisa bertahan di era digital.
Platform digital juga bisa menjadi wadah pelestarian yang efektif melalui digitalisasi arsip pertunjukan. Ini memungkinkan generasi mendatang memahami dan mengakses pertunjukan wayang dalam bentuk yang lebih otentik.
Dengan adanya kolaborasi antarpelaku seni wayang, dukungan pemerintah, dan masyarakat yang peduli, kesenian wayang akan mampu bertahan, bahkan di era digital yang serba cepat berubah seperti sekarang.
M. Luthfi Khair A, Peneliti Bidang Sejarah Indonesia, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.