Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kerugian Negara - BPK Nilai SKL Tidak Menghapus Kewajiban Sisa Utang Debitur BLBI

Ratusan Triliun Piutang Negara Jelas Tercantum dalam Audit Investigasi BPK

Foto : Antara

AUDIT INVESTIGASI BPK - Gedung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Jakarta. Audit investigasi BPK soal BLBI mencantumkan ratusan triliun rupiah piutang negara dari para obligor yang belum ditagih.

A   A   A   Pengaturan Font

Piutang negara yang belum selesai ditagih sebesar 33 triliun rupiah plus carrying cost 20 persen.

Penghapusan piutang negara berimplikasi pada kerugian negara ratusan triliun rupiah.

JAKARTA - Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) dalam melakukan penagihan kepada obligor dan debitor yang mengemplang BLBI diharapkan mengacu pada hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pentingnya menagih berdasarkan audit BPK karena semua penggunaan keuangan negara harus dipertanggungjawabkan sehingga tidak menimbulkan kerugian yang bisa berujung pada perbuatan pidana.

Penagihan piutang negara sesuai hasil audit BPK pun akan membuat kredibilitas Satgas BLBI lebih terjaga, ketimbang mengacu pada Surat Keterangan Lunas (SKL) yang diterbitkan pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) kala itu.

Direktur Program Indef, Esther Sri Astuti, yang diminta pendapatnya di Jakarta, Kamis (11/11), mengatakan peran BPK sangat penting karena mereka sebagai penjaga dan garda terakhir keuangan negara agar tidak bobol.

"Satgas semestinya mengacu pada hasil audit BPK yang jelas mencantumkan ratusan triliun rupiah piutang negara. Apabila pelunasan piutang tanpa menimbang audit BPK bisa diduga ada yang tidak beres dari kinerja Satgas ini. Bisa diduga ada 'main mata' antara debitur dan Satgas," tegas Esther.

SKL, jelasnya, merupakan kekeliruan karena tidak jelas dasar hukumnya serta harus ada kompensasi. Selain setoran tunai, juga harus ada aset yang diserahkan agar negara tidak dirugikan.

Manajer Riset Seknas, Fitra Badiul Hadi, juga mengendus adanya pelanggaran hukum dalam penerbitan SKL. "Jika penerbitan SKL melanggar aturan yang ada, tentu saja itu pelanggaran hukum," kata Badiul.

Dia memandang, Satgas harus memublikasikan proses penerbitan SKL dan menyampaikan dengan jelas terkait penghapusan piutang. Apalagi BPK dalam berbagai kesempatan menyampaikan SKL tidak menghapus kewajiban sisa utang debitur BLBI.

Piutang negara yang belum selesai ditagih kepada salah satu obligor kakap nilainya masih 33 triliun rupiah plus carrying cost 20 persen. Kalau piutang itu dihapuskan maka implikasinya negara menderita kerugian ratusan triliun rupiah.

Jangan Ditawar-tawar

Sementara itu, Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Airlangga, Gitadi Tegas, mengatakan nilai pengembalian tagihan BLBI tidak bisa ditawar-tawar, apalagi jika selisih jumlah dengan hitungan BPK sangat besar.

"Bagaimana obligor bisa diberi SKL kalau hanya membayar 17 persen dari utangnya. Jangan 17 persen, karena itu sebetulnya kan sudah bertahun-tahun dan kerugian nyata negara sudah sangat besar," katanya.

Sebab itu, pemerintah dan Satgas BLBI tidak bisa mengacu pada SKL, tetapi harus audit BPK sebagai lembaga negara resmi agar kerugian negara 100 persen bisa kembali.

"Justru kalau dibiarkan mengacu pada SKL, masyarakat akan curiga ada apa, bisa dianggap sama dengan upaya pengembalian dulu-dulu yang penuh permainan. Padahal, pemerintah sekarang ingin lebih transparan, jadi harus mengacu pada BPK," ujarnya.

Satgas diminta lebih teliti dalam penentuan valuasi nilai aset yang disita dari pengemplang, agar publik percaya dengan tujuan pembentukannya dalam mengembalikan kekayaan negara.

"Kasus BLBI ini sudah mengendap belasan tahun sehingga ada kesan pembiaran. Muncul dugaan kepentingan-kepentingan pribadi dan profit. Maka untuk mengembalikan kepercayaan publik terutama pada zaman media sosial ini, Satgas harus mengutamakan konsiderasi pembentukannya, yaitu mengembalikan kekayaan negara yang hilang," katanya.

Mereka perlu mengedepankan profesionalitas dengan melibatkan tim appraisal yang independen dalam menilai aset-aset itu, mengingat nilai aset yang banyak berubah karena berjalannya waktu.

"Jangan sampai nilainya jauh, kalau bisa sama, minimal mendekati dari kerugian yang dialami negara," pungkasnya.

Dalam kesempatan lain, Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia, Salamuddin Daeng, mengatakan semua kasus BLBI seharusnya sudah masuk ranah pidana, bukan sekadar perdata. "Kasus pidananya saja belum selesai, masa bisa diterbitkan SKL. Satgas jangan jadi lembaga yang tidak tahu apa yang hendak dikerjakan," tukas Daeng.

Secara terpisah, Dewan Penasihat Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHCS), Gunawan, meminta Satgas BLBI benar-benar menyelesaikan kasus BLBI. Jangan ada lagi pengendoran apalagi upaya-upaya yang akan kembali menjadi gugatan publik di kemudian hari karena ketidakjelasan aspek hukum yang diambil.

Menurut dia, pernyataan Ketua Dewan Pengarah, Mahfud MD, bahwa salah satu debitur telah melunasi utang BLBI perlu sejelas-jelasnya dibuka ke publik. Jangan disampaikan sambil lalu seperti yang dilakukan selama ini. Utang bernilai triliunan rupiah dan terbukti lari dari tanggungjawabnya.

"BLBI ini kan jelas, pasti, ada upaya untuk tidak mau bayar. Jadi, ya harus dijelaskan dengan clear. Kredibilitas satgas dipertanyakan jika piutang negara dihilangkan begitu saja. Satgas tidak bisa menyatakan obligor lunas berdasarkan SKL, angkanya saja dia gak tau. Dari audit BPK kan cuma bayar 17 persen. Kapan dia bayar lunasnya, di mana? Tugas satgas bekerja dengan dokumentasi awal, yaitu audit BPK, MSAA, dan MRNIA. Harus dibuka semua," papar Gunawan.

Penyelesaian kasus BLBI, jelasnya, akan menjadi upaya terbesar menyelesaikan kasus korupsi terbesar di negeri ini. Korupsi yang nilainya besar, kalau tidak diselesaikan hanya akan menjadi instrumen politik untuk saling sandera antar-elite yang menghalangi kinerja dan program prioritas pemerintah.

"Hukum harus tegak agar politik punya nurani, punya hukum sebagai guidance tertinggi. Kalau tidak begitu, negara ini susah maju," pungkasnya.ers/SB/YK/E-9


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top