Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Rapor Merah Guru

Foto : Koran Jakarta/Ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Nicolas Widi Wahyono

Pendidikan Indonesia dalam keadaan darurat. Salah satu puncak gunung es kegawatdaruratan tampak pada kelulusan CPNS kurang dari 10 persen. Ini menunjukkan, rapor guru jeblok. Ajakan untuk melihat lebih saksama permasalahan disampaikan beberapa pakar. Untuk tidak buru-buru memberi penilaian apalagi mengambil keputusan, masih terbuka peluang sumbang saran. Misalnya, melihat kembali soal-soal seleksi tersebut apakah pernah diujicobakan? Apakah terlalu tinggi tuntutannya? Apakah sudah sesuai dengan tujuan?

Para penyusun soal tes masuk CPNS pasti sudah berpikir jauh ke depan. Pegawai harus berkompetensi agar dapat melayani masyarakat dengan cerdas. Ternyata, hasilnya tidak menggembirakan. Hanya, kurang dari 10 persen memenuhi kualifikasi mengisi lowongan pegawai.

Untuk mengatasi kekurangannya dapat memanggil kembali pegawai yang sudah pensiun sembari menyeleksi lagi pelamar berikutnya, tanpa menurunkan standar. Jika standarnya diturunkan, akan semakin banyak pegawai tidak kompeten. Ini malah akan sangat mengganggu kinerja pelayanan pada masyarakat.

Di sekolah, seorang guru mengajar sesuai dengan rencana pengajaran yang dirancang berdasarkan kurikulum. Ia merancang pengalaman belajar mengandaikan yang akan dialami siswa. Pada akhir pembelajaran, dia akan menguji apakah siswa sudah menguasai pengalaman serta pengetahuan.

Cara dan waktu siswa akan diuji sudah disampaikan di awal pembelajaran. Guru dan siswa dibatasi meteri tertentu yang diajarkan, mengingat keterbatasan waktu. Logikanya, andai siswa sudah menguasai suatu materi pelajaran, akan dapat menunjukkan hasil yang sama atau hampir sama saat diuji dengan cara dan waktu yang berbeda. Kenyataannya, tidak demikian. Mengapa?

Guru lebih menekankan pada proses pembelajaran-pengalaman, tahap demi tahap dan akhirnya menguasai keseluruhan materi pembelajaran. Tes menjadi bagian tak terpisahkan dari proses ini. Sementara itu, sebagian besar siswa menekankan pada hasil pembelajaran yang ditunjukkan dengan angka atau nilai. Para siswa tidak terlalu menginvestasikan perhatian pada proses pembelajaran.

Mereka baru mati-matian belajar ketika sepekan menjelang ujian. Murid akan belajar keras semalaman dan masih ditambah sebelum ujian di pagi hari. Dengan istilah sistem kebut semalam. Orientasi pada hasil akhir akan semakin intens menjelang ujian akhir sekolah atau ujian nasional. Tidaklah heran, kelas-kelas bimbingan belajar penuh. Mereka menyajikan kiat dan cara menjawab soal dengan tepat.

Mengapa pelamar pegawai dites tidak bisa menjawab soal dengan benar? Padahal materi tes sebenarnya sama dengan pelajaran di sekolah. Namun, materi pelajaran di sekolah segera terlupakan sewaktu keluar dari ruang ujian. Sebab tujuan murid hanya demi ujian, bukan penguasaan materi pelajaran.

Tak heran, begitu selesai ujian nasional hari terakhir, para pelajar berkonvoi keliling kota. Nanti setelah dinyatakan lulus, mereka kembali konvoi, kali ini ditambah dengan pakaian yang dicorat-coret, seakan menandai penderitaan sudah usai.

Orientasi Hasil

Orientasi pada hasil juga tecermin dari makin banyaknya buku penyelesaian soal yang laris, termasuk kiat lulus tes pegawai negeri. Juga bermunculan bimbingan khusus tes masuk pada lembaga atau instansi tertentu.

Membangun karakter lebih susah dibanding mendongkrak pengetahuan siswa. Materi pelajaran sebenarnya kini sudah tersaji melimpah di sekitar. Dengan menggunakan berbagai piranti teknologi, guru dapat mengajar cepat. Guru cukup menunjukkan tempat mencari bahan pelajaran. Nanti siswa sendiri yang akan mencari, menemukan, meramu, lalu menyajikan.

Pelajaran bukan terkait banyaknya materi, tapi pembelajaran yang mendalam agar menjadi pengetahuan yang tersimpan dalam memori jangka panjang. Untuk membentuk karakter siswa, guru atau sekolah menciptakan pengalaman belajar terutama yang tidak bisa diserahkan pada kecerdasan buatan.

Kemampuan berbicara di depan umum, presentasi, sopan santun, dan toleran menjadi prioritas, terutama yang akan digunakan dalam dunia kerja. Berdialog dengan siswa yang berbeda agama akan menghasilkan sikap dan tindak toleran. Mempresentasikan hasil penelitian akan mengasah keterampilan berbicara di depan umum, menanggapi dan menjawab pertanyaan secara spontan.

Pengalaman belajar yang mendalam menjadi tantangan tersendiri bagi guru dan siswa mengingat jenjang SMA/MA terdapat 17 mata pelajaran. Sembilan mata pelajaran umum, empat khusus, dan empat jurusan/program. Jika Bahasa Inggris diampu empat guru, maka seakan menjadi 20 mata pelajaran.

Setiap guru kiranya perlu melirik ke mata pelajaran lain, seberapa besar beban belajar siswa. Akan menjadi baik jika ada kerja sama antarguru mata pelajaran agar siswa tidak terus mengulangi hal yang sama.

Tantangan yang tidak kalah besarnya adalah ujian nasional (UN). UN menjadi batas minimal. Artinya setiap siswa harus diantar untuk dapat melewati batas itu. Ini menggoda guru dan sekolah untuk menjadikannya sebagai tujuan. Sebab lulus UN menjadi pertaruhan sekolah, guru, pengawas, dan siswa.

Kinerja dan sinergi semua pihak dinilai berdasarkan hasil UN. Semua mata tertuju pada siapa saja yang meraih angka tertinggi. Ini tidak hanya siswa yang bersangkutan, tetapi juga guru, sekolah, orang tua, jajaran dinas pendidikan, dan lembaga bimbingan belajar. Bila nilai bagus, akan menjadi bahan promosi yang ampuh lembaga bimbingan belajar.

Siswa adalah generasi milenial. Salah satunya ditandai dengan kecepatan memilih dibanding kecepatan berpikir. Ia akan memilih ikon baru berpikir setelah diklik. Jika sesuai akan terus, bila tidak akan di-del. Berbeda dengan gurunya yang berpikir dulu, baru memilih. Mereka juga bisa melakukan banyak hal sekaligus seperti game on line, mengerjakan PR, mendengarkan musik, makan, dan ber sosial media. Guru mengerjakan satu persatu semua itu.

Setiap siswa unik karena memiliki kepribadian, talenta, karakter, orientasi, dan pengetahuan berbeda-beda. Banyak faktor bisa memengaruhi seperti keluarga, lingkungan, suku, sekolah, dan cita-cita. Menurut Driyarkara (2006), pendidikan adalah proses memanusiakan manusia muda. Manusia muda yang pada saatnya menjadi manusia dewasa yang manusiawi. Adalah tugas lembaga, instansi, dan perusahaan untuk mengembangkan lulusan sekolah yang telah dibekali dengan alat untuk dapat melakukan tugas-tugasnya.

Penulis Guru SMA Kolese Kanisius, Jakarta

Komentar

Komentar
()

Top