Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Diversifikasi Pangan

Rakyat Harus Konsumsi Pangan Lokal Hasil dari Petani Indonesia

Foto : DOK BALITBU.LITBANGPERTANIAN

Buah Sukun I Buah sukun kini menjadi makanan internasional, banyak disajikan di hotel-hotel bintang lima dengan harga yang sangat tinggi.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) yang diluncurkan tahun ini diharapkan tidak sekadar slogan, tetapi betul-betul menjadi titik awal untuk melakukan diversifikasi dengan mensubstitusi pangan impor yang selama ini membanjiri pasar Indonesia dengan pangan lokal yang lebih beragam.

Bahkan dengan melihat potensi keragaman pangan lokal seperti mocaf, porang, sagu dan umbi-umbian, maka Indonesia bisa menciptakan ketahanan bahkan swasembada pangan jika serius mengembangkan industri pangan lokal.

Ketua Komunitas Tani Mandiri Indonesia (KTMI) DIY, Mugiono Cah_yadi, dalam sebuah diskusi kemandirian pangan bersama petani di Yogya, Minggu (31/10) mengatakan selama ini banyak kebijakan terutama impor yang membuat Indonesia makin menjauh dari kemandirian.

"Padahal ancaman pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim sudah di depan mata tapi skema kemandirian sama sekali justru ditinggalkan, diganti dengan los-losan tanpa batas impor pangan. Puluhan, ratusan triliun terkait pangan menguap setiap tahun ke negara lain, sementara petani kita hidup miskin," kata Mugiono.

Padahal, beberapa komoditas lokal seperti ubi dan sukun adalah makanan internasional dengan gizi yang lebih tinggi dari kentang yang selama ini didapat dari impor. Di dalam negeri, ubi dan sukun malah dibuat seperti makanan bagi kelompok kurang mampu.

Menurut Mugiono yang mengutip sebuah riset, tepung porang kasar mengandung 49-60 persen glukomannan, 10-30 persen pati, 2-5 persen serat kasar, 5-14 persen protein, 3-5 persen gula reduksi, 3,4-5,3 persen abu, lemak dan vitamin yang cukup rendah.

Sementara sagu mengandung nutrisi seperti 355 kalori, 85,6 persen karbohidrat, 5 persen serat, 0,5 gram protein/100 gram sagu hingga rendah kadar gula dan lemak. "Tapi itu semua kita tinggalkan demi makan makanan impor terigu, kentang, dan seterusnya itu. Ini kan contoh nyata kita menyiakan pemberian Tuhan bahwa makanan kita yang bergizi tinggi disia-siakan," kata Mugiono.

Setop Impor

Sementara itu, Pengamat pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur, Surabaya, Zainal Abidin mengatakan, komitmen untuk membangun kemandirian pangan harus segera ditindaklanjuti dengan menyetop impor berbagai komoditas pangan yang sebetulnya bisa disubstitusi dengan pangan lokal.

Kartel impor jelasnya merupakan bagian dari upaya negara-negara maju agar negara-negara lain selalu dalam kebergantungan.

"Pertanian adalah masalah mendasar yang melibatkan hajat hidup orang banyak, bila lumpuh otomatis perekonomian ikut jatuh. Tidak ada negara maju yang meninggalkan pertaniannya karena pangan sudah menjadi senjata untuk membuat negara lain bergantung. Kartel impor adalah bagian dari jaringan yang bertujuan membunuh sektor pertanian di negara-negara berkembang," kata Zainal.

Upaya membunuh pertanian itu melibatkan mafia-mafia pangan dalam negeri, yang selama ini hanya berprinsip keuntungan semata. Pemerintah tambahnya seharusnya lebih mengutamakan produk lokal untuk pemenuhan kebutuhan pangan nasional karena keragamaan jenis produk substitusi impor banyak sekali sehingga peluang menggenjot produk domestik sangat terbuka.

Peneliti Ekonomi Indef, Rusli Abdullah menegaskan bahwa salah satu kendala saat ini ialah pangan lokal belum ada sentuhan industrinya. Industri pengolahan pangan lokal belum massif, padahal sumber pangan lokal berlimpah di tanah air.

Menurut Rusli, untuk masuk hotel-hotel berbintang itu ada standarnya juga. Harus diolah dulu pangan lokalnya. Kemudian, kemasannya juga harus menarik. Perlu ada sentuhan komersilnya. "Itulah gunanya industri, bukan justru impor dari luar lagi tapi manfaatkan potensi yang ada di dalam negeri,"tegas Rusli.

Diversifikasi pangan katanya sangat tepat dengan moment pandemi Covid-19. Namun agar lebih akseleratif pemerintah perlu memberi insentif bagi industri pengolahan serta petani supaya lebih agresif lagi menghasilkan produk pangan lokal. "Kalau tidak ada insentif orang tidak akan termotivasi baik untuk menanam begitu pula industrinya,"tukasnya.

Salah satu keunggulan pangan lokal terang Rusli ialah rendah kalori, tentu lebih sehat jadinya. Tinggal pemerintah dorong dari sisi kebijakan agar keunggulan dikapitalisasi dan ada manfaatnya.

Diversifikasi pangan terang Rusli banyak manfaatnya. Salah satunya memberi multi plier effect. Kesejahteraan petani penghasil pangan ini akan meningkat. Lalu industri pengolahan pangan lokal juga akan menyerap banyak pekerja.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top