Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Pungli Jalanan

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Presiden Joko Widodo (Jokowi) kecewa tidak ada laporan dari bawahan. Padahal, terdapat begitu marak pungutan liar (pungli) yang dialami sopir-sopir truk pengangkut sembako di jalanan. Presiden Jokowi baru mengetahui pungli jalanan yang masih marak dari para sopir yang diundang ke Istana Negara, Jakarta, Selasa (8/5). Presiden mengaku hanya mendengar sedikit. Presiden kaget karena ternyata begitu marak pungli jalanan yang menyusahkan para sopir angkutan.

Padahal, sopir-sopir itu mengangkut kebutuhan sembako yang digunakan masyarakat. Jelas saja Presiden marah karena ini mempertinggi biaya, sehingga harga jual barang-barang sembako naik. Ini membebani karena memberi cost tambahan. Dalam era Orde Baru sopir pengangkut sembako dari Jawa ke Sumatera dan sebaliknya, mengaku setidaknya menyiapkan 20 amplop yang telah diisi uang untuk diberikan di setiap pos pemeriksaan. Ternyata praktik pemerasan aparat kepada para sopir masih berlanjut hingga kini, meski Indonesia telah lama memasuki Era Reformasi.

Presiden Jokowi langsung memerintahkan Menteri Perhubungan Budi Karya dan Wakil Kepala Polri Komjen Pol Syafruddin yang hadir dalam pertemuan dengan para sopir segera memberantas pungli-pungli yang dikeluhkan sopir-sopir. "Sikat semua," perintah Presiden Jokowi. Presiden minta preman-preman dan aparat yang berperilaku preman yang biasa malak sopir agar disikat semua. Presiden menyebut pemberantasan preman-preman pemalak ini menjadi pekerjaan besar Polri dan Perhubungan.

Perintah Presiden Jokowi jelas dan tegas. Presiden minta aparat preman atau preman betulan harus disikat. Pertanyaannya, apakah Polri dan Perhubungan antusias menyambut perintah Presiden tersebut agar menyikat para preman? Berdasar pengalaman, rasanya setelah keluar dari Istana, perintah tersebut terbang dibawa angin seperti perintah-perintah yang selama ini diberikan Presiden.

Sebab tidak perlu mengumpulkan para sopir, Polri dan Perhubungan mestinya tahu bahwa di jalanan selalu ada pemalakan terhadap para sopir truk yang membawa sembako tersebut. Mustahil kalau Polri dan Perhubungan tidak tahu banyak terjadi pemalakan. Kalau tidak tahu, berarti, dua institusi itu pura-pura tidak tahu.

Perintah Presiden yang begitu tegas "dimentahkan" jawaban tak kalah mengagetkan dari Wakil Kepala Polri Komjen Syafruddin. Menurutnya, saat ini sudah tidak ada lagi polisi yang melakukan pungutan liar terhadap truk. Sebab, polisi saat ini sudah mendapat remunerasi cukup besar. Pernyataan Wakapolri ini langsung terbantahkan oleh ungkapan sejumlah sopir yang mengaku diperas polisi dan pegawai dinas perhubungan dengan berbagai dalih seperti kelebihan muatan. Padahal, sopir truk merasa tidak ada aturan yang jelas soal batas maksimal muatan.

Pungli terkait mental. Maka, walau gaji atau remunerasi besar, tidak berarti langsung menghentikan pungli karena praktik itu telah lama sekali berjalan. Untuk memberantasnya perlu ketegasan sanksi seperti pemecatan. Kalau hanya sanksi administrasi, takkan mampu menghilangkan pungli.

Syafruddin mengatakan, polisi jijik menerima pungli 5.000-10.000 rupiah karena remunerasi sekarang sudah besar. Ya, jelas saja, kalau uang segitu jijik atau tidak mau. Bagaimana kalau 50.000 rupiah tiap truk? Atau 100.000 rupiah? Wakapolri lebih baik menjalankan perintah Presiden untuk menyikat para pemalak daripada membuat pernyataan defensif dengan mengatakan, sudah tidak ada polisi pemalak. Pernyataan ini memperlihatkan kondisi seperti Presiden yang tak diberi laporan bawahan. Artinya, Syafruddin juga tidak menerima laporan dari bawahan atas pungli oleh oknum polisi.

Tidak diperlukan perdebatan, Polri dan Perhubungan tinggal menjalankan perindah Presiden. Sikat semua preman atau aparat berperilaku preman. Selesai! Tidak perlu defensif. Jalankan saja perintah Presiden: Sikat pemalak sopir truk!

Komentar

Komentar
()

Top