Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Puluhan Juta Anak Tak Kembali Sekolah Pasca Pandemi

Foto : AFP/SAVE THE CHILDREN

Putus Sekolah - Seorang anak perempuan bernama Zahira, 9 tahun, yang adalah pengungsi dari Suriah sedang berjalan di kamp pengungsian di Provinsi Aleppo beberapa waktu lalu. Zahira saat ini  putus sekolah karena di kamp pengungsian itu tak tersedia sarana pendidikan yang memungkinkan dirinya untuk melanjutkan pendidikan.

A   A   A   Pengaturan Font

LONDON - Pandemi virus korona telah mengakibatkan keadaan darurat di bidang pendidikan sehingga lebih dari 9,7 juta anak yang terdampak penutupan sekolah-sekolah, berisiko tak bisa kembali belajar di sekolahan. Peringatan itu disampaikan LSM amal dari Inggris, Save the Children, pada Senin (13/7).

Save the Children yang mengutip data dari UNESCO pada April lalu mengatakan bahwa sebanyak 1,6 miliar remaja putus sekolah atau tak melanjutkan kuliah karena langkah untuk pencegahan terhadap wabah Covid-19. Angka itu sekitar 90 persen dari populasi pelajar di seluruh dunia.

"untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, satu generasi anak secara global mengalami gangguan pada pendidikan mereka," demikian laporan terbaru Save the Children yang berjudul "Save our Education".

Dalam laporan itu juga disinggung soal keterpurukan ekonomi terkait krisis kesehatan telah memaksa 90 hingga 117 juta anak ke jurang kemiskinan dan semua itu sebagai akibat kesulitan dalam membayar biaya pendidikan.

Akibatnya banyak anak putus harus bekerja atau anak perempuan dipaksa untuk menikah dini demi menyokong keluarganya, ini berdampak pada 7 hingga 9,7 juta anak putus sekolah secara permanen.

Pada saat yang sama, Save the Children mewanti-wanti bahwa krisis kesehatan bisa memicu melorotnya anggaran pendidikan di negara-negara miskin dan berpenghasilan menengah pada pengujung 2021.

"Sekitar 10 juta anak mungkin tak bisa kembali ke bangku sekolah, ini merupakan keadaan darurat pendidikan tak terduga dan pemerintah harus segera berinvestasi pada pembelajaran," kata kepala eksekutif Save the Children, Inger Ashing. "Kita pun berisiko terkena pemangkasan anggaran secara tak paralel yang semuanya mengakibatkan peningkatan ketidaksetaraan antara si kaya dan si miskin dan antara anak laki-laki dan anak perempuan," imbuh dia.

Oleh karena itu, LSM amal itu menyerukan pemerintah dan donatur untuk berinvestasi pada pendanaan bagi rencana pendidikan global terbaru yang akan membantu anak untuk kembali bersekolah saat situasi wabah sudah aman dan hingga hal itu terjadi harus menyokong mereka dengan sistem belajar jarak jauh.

"Kami tahu kaum miskin terutama sebagian besar anak yang termarginalisasi merupakan yang paling menderita saat ini, karena mereka tak memiliki akses bagi sistem belajar jarak jauh atau apapun bentuk dari pendidikan selama setengah semester pada tahun ajaran tahun ini," ucap Ashing.

Tunda Bayar Utang

Save the Children juga menyerukan pihak kreditur komersial agar mau menunda pembayaran utang bagi negara-negara dengan penghasilan rendah karena langkah itu bisa membebaskan beban program pendidikan senilai lebih dari 14 miliar dollar AS.

"Jika kita membiarkan krisis pendidikan ini tak terpecahkan, dampaknya bagi masa depan anak-anak akan memiliki jangka amat lama," ungkap Ashing. "Tak hanya itu, kampanye tujuan PBB bagi jaminan bagi seluruh anak di dunia bisa mengakses pendidikan berkualitas pada 2030, akan mundur selama beberapa tahun," tambah dia.

Dalam laporannya, Save the Children mencatat ada 12 negara dimana anak-anak berisiko paling terdampak atas krisis ini yaitu Nigeria, Mali, Chad, Liberia, Afghanistan, Guinea, Mauritania, Yaman, Nigeria, Pakistan, Senegal dan Pantai Gading. Sebelum krisis kesehatan ini terjadi, Save the Children memperkirakan ada sekitar 258 juta anak dan remaja yang akan putus sekolah. SB/AFP/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, AFP

Komentar

Komentar
()

Top