Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Puasa dan Spirit "Caring Society"

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

oleh saiful anwar

Selama Ramadan yang menonjol dari muslim kota antara lain bersedekah (charity). Berbagai individu rutin menyelenggarakan buka bersama dengan anak yatim piatu, gelandangan, dan kaum miskin lainnya. Beragam sumbangan membanjiri panti asuhan. Bagi penerima, bulan Ramadan waktunya "perbaikan gizi".

Bermacam motivasi mendorong pelaksanaan charity. Tapi, dari sudut ibadah, mayoritas ingin menjadikan Ramadan sebagai pencucian sepiritual (spiritual laundring). Namun, janji-janji hadits seperti --"Barang siapa yang berpuasa di bulan ramadan, Allah akan mengampuni dosanya selama setahun berlalu"- hanya dimaknai secara konseptual. Mereka menjadikan Ramadan sebagai bulan "perburuan" pahala dan ibadah semata, tanpa mempedulikan hubungan ibadah antarsesama secara keseluruhan.

Pemahaman konseptual tersebut berdampak pada formalitas ibadah yang hanya menekankan aspek pelaksanaan, bukan manfaat. Dimensi etik dan hikmah di balik ibadah sering kali tidak tersentuh. Karena pemahaman dan pengamalan yang formalistis, intensitas ibadah tidak memiliki dampak kemunculan kepedulian dan kesejahteraan sosial.

Artinya, tingginya semangat pelaksanaan ibadah puasa bulan Ramadan tidak berdampak pada penurunan kesenjangan sosial, kemiskinan, maupun kejahatan. Padahal, urgensi puasa salah satunya menumbuhkan kepekaan terhadap sesama.

Caring society adalah suatu masyarakat di mana setiap individunya memiliki kepedulian yang tinggi untuk saling menjaga, memelihara dan membantu sesama. Meskipun berkaitan, caring society berbeda dengan charity society. Untuk dapat membantu sesama, dibutuhkan charity (sumbangan) dalam bentuk uang, makanan, dan material lainnya. Misalnya, memberi uang pada pengemis atau makanan siap saji kepada anak-anak yatim. Ya, setidaknya dalam jangka pendek dan dalam kondisi darurat, charity bisa sangat membantu.

Tetapi, dalam kondisi normal dan kepentingan jangka pajang, charity justru bisa menjadi biang masalah. Alih-alih meminimalkan angka kemiskinan, memberi bantuan cash kepada pengemis justru mendorong mereka lebih jauh ke dalam jurang kemiskinan. Mereka menjadi malas bekerja dan menikmati hasil kemiskinannya. Bagaimana tidak?

Dalam survei yang dilakukan Kabid Rehabilitasi Sosial Dinsos DKI Jakarta, misalnya, rata-rata pengemis Jakarta mampu mengumpulkan uang 200.000 rupiah/hari. Apalagi telah memasuki bulan Ramadan, para pengemis bisa mengantongi 500.000 rupiah/hari. Dalam satu bulan, pendapatan mereka lebih tinggi dari PNS golongan III.

Bantuan Produktif

Spirit caring society membutuhkan charity (sumbangan) yang bersifat fungsional dan produktif, bukan temporal konsumtif. Sebab, pemberian sumbangan yang memiliki manfaat dalam jangka panjang akan mampu membantu penerima menyelesaikan masalahnya secara mandiri.

Sayangnya, semangat membantu dan santunan selama Ramadan dan bulan lainnya masih cenderung charity oriented. Maka, dana umat yang sangat melimpah tidak mampu berperan dalam mengentaskan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.

Misalnya, dalam membayar fidyah ditegaskan, "Wajib bagi orang-orang yang berat (tidak mampu) menjalankan (jika mereka tidak berpuasa) haruslah membayar fidyah (yaitu) memberi makan orang miskin." Sesuai dengan ayat ini, pembahasan fidyah dilakukan secara individual memberi orang miskin dalam bentuk makanan saji atau uang setara harga makanan.

Pemahaman dan praktik ini menimbulkan banyak individu dengan berbagai dalih tidak melaksanakan puasa. Mereka menggantinya dengan membayar fidyah berupa makanan atau uang 30.000 rupiah. Sebab begitulah makna dan harga puasa bagi mereka yang membayar fidyah.

Pembayaran fidyah yang tidak memiliki manfaat jangka panjang bagi orang yang menerima, selain hanya kepuasan sesaat. Baginya, persoalan kemiskinan seolah bisa diselesaikan dengan hanya memberi makanan lezat dan bergizi. Maka, dalam konteks caring soceity, diperlukan pembaruan dan kontekstualisasi konsep memberi makan orang miskin.

Miskin, secara ekonomi, orang-orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Miskin secara mental, malas bekerja. Bisa juga orang-orang berkecukupan harta, tetapi selalu merasa kurang. Miskin secara struktural, terkungkung sistem yang tidak memungkinkan memenuhi kebutuhan hidup.

Kemiskinan ini bersifat kolekstif sebagai akibat kolonialisme, monopoli, dan oligopoli. Sedangkan dari sudut makna baru dan kontekstual, memberi makan orang miskin berarti: memberi pendidikan, keterampilan, dan pelayanan kepada orang-orang miskin, sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup mandiri.

Berbagai bentuk charity dinilai lebih tepat dan berdampak positif bagi penerima di masa mendatang daripada memberi makanan siap saji atau uang yang habis dalam waktu jangka pendek. Yang awalnya penerima tidak berpendidikan menjadi terdidik dan berilmu. Yang mulanya pengangguran dan meminta-minta, berkat sumbangan keterampilan mampu meningkatkan potensi atau skill untuk berwirausaha.

Berkaitan dengan itu, puasa seharusnya dapat menumbuhkan kepekaan dan solidaritas sosial. Artinya, perasaan lapar dan haus selama berpuasa dapat menimbulkan kesadaran individual tentang betapa perihnya penderitaan orang-orang miskin. Selain itu, ibadah puasa Ramadan yang dilaksanakan secara serentak, seharusnya mampu menumbuhkan kesadaran kolektif, kebersamaan untuk mengakhiri kelaparan dan kemiskinan.

Spirit caring society inilah yang perlu dikembangkan terus-menerus. Jika dipahami dalam perspektif ini, maka puasa akan mampu melahirkan revolusi sosial-moral yang membawa umat menuju kesejahteraan. Tetapi apabila kesadaran tidak tumbuh menjadi kolektif, puasa hanya akan memiliki sedikit dampak dalam kehidupan sosial.

Charity individual yang melimpah selama Ramadan, tidak berdampak pada kesejahteraan sosial karena bersifat sporadik dan temporal. Selain itu, puasa diharapkan mampu mengikis tumbuhnya careless society: masyarakat tidak acuh dan tidak peduli kepada sesama. Inilah masyarakat yang mabuk spiritual, tetapi miskin belarasa. Penulis Mahasiswa Pascasarjana Unnes

Komentar

Komentar
()

Top