Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Puasa Bermedia Sosial

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

oleh moh nurul huda

Keberadaan media sosial (medsos) di era digital berkontribusi sangat besar bagi kehidupan. Beragam jalan terlahir dari beberapa aplikasi menyebabkan tiada lagi batas, sehingga memudahkan akses beragam informasi di belahan dunia mana pun. Meski tak bisa dipungkiri bahwa medsos telah memberi sumbangsih besar dalam kehidupan, kehadirannya juga memiliki dampak negatif yang tak terelakkan.

Dampak negatif yang ditimbulkan tanpa terasa telah meracuni pola pikir banyak orang. Maka, tak jarang, ada yang merasa diresahkan. Keresahan itu selain karena candu yang telah menyelimuti sebagian kalangan, juga ternyata medsos telah mengantarkan kepada pola-pola baru untuk melakukan beragam tindak kejahatan.

Kejahatan di dunia medsos sudah terhitung tak berbilang. Bahkan, tak jarang hanya gara-gara nyinyir di medsos menyebabkan sebagian kalangan masuk ke dalam rumah tahanan. Itulah mengapa Jonah Lehrer (2011) mengatakan bahwa medsos dapat menghibur hati dan membantu menaikkan rasa harga diri. Namun, dia juga menjadi ladang ujaran kebencian, berita bohong, kampaye hitam, dan beragam isu lain yang senapas dengan kejahatan demikian.

Istilah cyber crime atau kejahatan dunia maya dalam pandangan M Yoga P (2013) sebagai tindakan kriminal dunia cyber (maya) dan hanya bisa dilakukan dengan teknologi cyber. Istilah ghibah, namimah, hoaks yang harusnya hanya terjadi di dunia nyata, tanpa terasa telah mewarnai kepiluan dalam bermedia.

Sebab, pesatnya beragam informasi yang memicu adanya unsur berita demikian, tak bisa dimungkiri telah mengakibatkan beragam permasalahan mulai menjalar. Segudang potret dinamika bermedsos yang telah terjadi di Indonesia menjadi bukti bahwa poros perpecahan dan gerakan radikalis teroris juga makin tumbuh subur akibat kerentanan dunia digital. Tambah lagi dengan budaya masyarakat yang suka berbagi, termasuk berita dan informasi, setidaknya menjadi pupuk yang menyuburkan kejahatan.

Penelitian Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia (UI) menyatakan, medsos secara nyata telah berkontribusi mempercepat gerakan radikal. Hasil penelitian itu menemukan bahwa 85 persen narapidana terorisme mengaku melakukan aksi teror dalam jangka waktu satu tahun karena terpengaruh medsos. Ini jelas, sebuah akselerasi yang sangat mencengangkan daripada masyarakat yang belum mengenal medsos. Sebab terpidana terorisme pada tahun 2002-2012 memulai aksi teror dalam kurun waktu lima sampai 10 tahun.

Telaah lain yang bisa digunakan sebagai acuan tentang perecahan yang terjadi juga terlihat jelas dengan tersebarnya kampanye pilpres beberapa waktu lalu. Tingkat pergulatan yang terjadi dalam erupsi pemilihan presiden yang terpecah dua kubu juga setidaknya megakibatkan sikap nyinyir di medsos. Bahkan tak jarang nyinyir mendukung salah satu pihak, justru menyebabkan adu komentar yang berujung ketidakharmonisan masyarakat.

Pelajaran

Berangkat dari kenyataan itulah, memnag harus diakui bahwa salah satu permasalahan besar yang terjadi di area komunikasi dan informasi sesungguhnya berporos pada medsos yang telah mengalami peralihan fungsi. Fungsi sesungguhnya untuk merekatkan tali persaudaraan, justru berubah malah menjadi prasarana yang bisa merenggangkan persaudaraan yang semula rekat.

Lewat beragam agenda yang terlahir dari ghibah (menggunjing) berjamaah, tindakan namimah (mengadu domba) di medsos, ujaran kebencian, dan gerakan lain yang berujung pada ketidakharmonisan, menyebabkan disintegrasi bangsa yang semakin mengkhawatirkan. Itulah sebabnya, tahun 2017 lalu Majelis Ulama Indoesia secara seksama memfatwakan hukum dan pedoman bermuamalah di medsos.

Senada dengan itu, Kominfo juga menyebutkan tentang perlunya masyarakat untuk puasa medsos. Ungkapan yang digunakan oleh Kominfo ini tentu sangat menarik bila dijadikan ladang untuk ber-muhasabah. Sebab perlunya berpuasa sesungguhnya digunakan untuk menahan diri agar tak terjebak dalam pusaran kebatilan.

Secara sederhana, dalam bahasa Al Quran, puasa kerap kali disebut dengan shaum dan shiyam. Ditinjau dari segi bahasa, kedua kata tersebut memiliki makna sama, menahan. Hanya, terdapat perbedaan fungsi penggunaan kedua kata tersebut. Shiyam lebih sering digunakan dan memiliki makna bersifat umum sebagaimana dipahami golongan awam. Sedangkan kata shaum dalam padanan katanya hanya disebut sekali. Ini hanya disandarkan pada ibunda Nabi Isa (Mariam) tatkala melakukan puasa berbicara.

Maka, Ibnu Qayyim al-Jauziah dalam Za'du al-Ma'ad mendefinisikan puasa secara lebih jauh. Dia mengatakan, puasa menahan syahwat dan menyapihnya dari hal-hal yang disenangi, termasuk pula dalam menundukkan hawa nafsu. Puasa menjaga dari hal yang merusak dan mengotori jiwa.

Definisi puasa yang disebutkan Ibnu Qayyi al-Jauziah lebih menggambarkan pada penekanan terhadap hasrat untuk menyapih segala kesenangan duniawi, agar tak terjebak pada hal-hal yang bisa mengotori jiwa. Tentu upaya menahan hawa nafsu sesunguhnya juga berlaku bagi agenda bermedia sosial yang telah mengalami disorientasi dari tindakan-tindakan yang menjerumuskan pada cyber crime.

Selain itu, puasa yang dilakukan Mariam, setidaknya memiliki pesan berharga tentang beragam pelajaran yang menggambarkan untuk tidak sembarangan melakukan kejahatan baik di dunia nyata maupun maya karena kejahatan bermedia sosial secara nyata telah menambah laju kemurkaan sebagian kalangan. Hal ini seolah justru memberi ruang untuk melakukan dosa-dosa jariyah.

Medsos telah memakan banyak korban. Maka, puasa medsos perlu digalakkan. Dalam konteks ini, puasa medsos bukanlah usaha penghentian secara total, namun menahan diri agar tidak jatuh ke dalam tindak kejahatan medsos. Penulis Mahasiswa Pascasarjana Walisongo Semarang

Komentar

Komentar
()

Top