Proteksionisme ala Donald Trump Buat RI Kebanjiran Produk Tekstil asal Tiongkok
Waspadai Serbuan Impor TPT Tiongkok
Foto: antaraYOGYAKARTA – Pemerintah perlu melindungi pasar tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri dari potensi tingginya impor dari Tiongkok. Sebab, Tiongkok bakal mengalihkan pasar ekspor TPT ke Indonesia seiring kebijakan Presiden terpilih Amerika Serikat (AS), Donald Trump, yang akan menaikkan tarif impor bagi beberapa negara, termasuk produk dari Negeri Panda.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core), Mohammad Faisal, memperkirakan dampak kebijakan Trump selain kehilangan pasar ekspor produk tekstil AS, Indonesia juga bakal kebanjiran produk impor dari Tiongkok. Pengetatan pasar oleh Trump membuat produk tekstil asal Tiongkok mencari pasar alternatif. Indonesia tentu menjadi tujuan ekspor yang tepat mengingat ceruk pasar yang besar.
“Apalagi kondisi sekarang sudah oversupply, dia harus salurkan itu. Kalau tidak Amerika, dia cari negara lain yang punya pasarnya besar dan selanjutnya salah satunya adalah Indonesia,” ucap Faisal dalam gelaran Outlook Sektor Industri Kimia Farmasi Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian 2025 di Yogyakarta, Selasa (17/12).
Terlebih lagi, kata Faisal, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Tiongkok merupakan salah satu negara yang banyak mengekspor barang ke Indonesia. "Khusus tekstil dan produk tekstil, dari pertumbuhan impornya juga 12,5 persen impor kita dari Tiongkok. Padahal ekspor kita ke Tiongkok minus 2,8 persen,” sebutnya.
Adapun Trump, paparnya, akan fokus pada upaya mendorong industri lokal AS. Caranya dengan instrumen fiskal dan menaikkan tarif impor 10 persen dan khusus Tiongkok dikenakan bea masuk 60 persen.
Trump juga akan menerapkan tarif impor yang lebih tinggi untuk negara selain Tiongkok, Meksiko, dan Kanada misalnya. Kebijakan Trump ini akan mulai terasa dampaknya pada paruh II 2025. Selain itu, dampak dari kebijakan Trump ini juga akan membuat Indonesia pada permasalahan keuangan, yaitu melemahnya nilai tukar rupiah.
“Itu yang perlu diantisipasi sampai juga ke moneter, dalam kondisi di mana arus modal naik masuk ke Amerika karena kebijakan Trump, maka ada potensi nanti kelemahan dan sisi nilai tukar juga, kalau BI tidak intervensi lebih kuat,” jelas Faisal.
Pelemahan nilai tukar rupiah akan menimbulkan multiplier effect pada industri-industri yang masih memiliki ketergantungan terhadap bahan baku dan bahan baku penolong impor. Sebab, akan ada peningkatan ongkos produksi.
Pacu Manufaktur
Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal IKFT Kemenperin, Reni Yanita, menuturkan pihaknya fokus memacu sektor industri manufaktur, termasuk sektor IKFT, untuk tetap menjadi tulang punggung perekonomian nasional. “Industri manufaktur masih menjadi sektor yang mampu mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi dan mampu menjadi mesin penggerak utama (prime mover) perekonomian nasional,” tuturnya.
Di sektor IKFT, tegas Reni, Kemenperin terus berkomitmen dan konsisten menjalankan langkah-langkah strategis, antara lain pengendalian terhadap impor produk jadi, peningkatan ekspor, menjaga ketersediaan bahan baku dan energi industri dalam negeri, serta meningkatkan utilisasi industri dalam negeri.
Selain itu, diperlukan kebijakan yang pro-industri untuk mendukung tercapainya target dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahap I tahun 2025–2029. “Salah satu langkah yang diusulkan, misalnya, terkait perluasan implementasi harga gas bumi tertentu (HGBT) yang berperan penting untuk penguatan industri dalam negeri,” ujar Reni.
Berita Trending
- 1 Satu Dekade Transformasi, BPJS Ketenagakerjaan Torehkan Capaian Positif
- 2 Pengamat: Rendahnya Pengetahuan Masyarakat Dieksploitasi "Pemain" Judol
- 3 Usut Tuntas, Kejari Maluku Tenggara Sita 37 Dokumen Dugaan Korupsi Dana Hibah
- 4 KPI Minta Siaran Lagu ‘Indonesia Raya’ di Televisi dan Radio Digalakkan
- 5 Ini Sejumlah Kebijakan untuk Pengaturan Mobilitas Natal dan Tahun Baru