Program Lumbung Pangan Tak Atasi Masalah Papua
Foto: ISTIMEWAJAKARTA - Program lumbung pangan satu juta hektare (ha) di Merauke, Papua, tak akan efektif mengatasi krisis pangan di daerah tersebut. Hal itu didasarkan pengalaman dari program lumbung pangan di sejumlah daerah yang terbukti gagal.
Peneliti Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengatakan untuk kebutuhan beras secara nasional tidak bisa mengandalkan percetakan lahan di Merauke karena memang fokus pembangunan food estate Merauke ini untuk wilayah timur.
Ongkos angkutannya tidak akan cocok jika dikirim ke Indonesia bagian barat. Namun, masalahnya adalah makanan pokok di Papua bukan beras.
"Jadi, saya belum nampak pasarnya seperti apa nanti yang akan menyerap," ucap Huda, Selasa (16/9) menanggapi program lumbung pangan di Merauke.
Akhirnya, lanjut Huda, impor akan jadi pilihan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan di Indonesia bagian barat terutama konsumen di Pulau Jawa.
Menurutnya, pembangunan food estate atau program lumbung pangan harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar dan karakteristik permintaan daerah setempat. "Jika tidak tepat, saya rasa berat bagi pemerintah dalam mengelola proyek tersebut," tegasnya.
Masalah sumber daya manusia (SDM) menjadi kendala sebab tidak semua petani lokal paham cara menanam padi dengan baik dan benar. Pada akhirnya, yang ditarik adalah orang Jawa lagi.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, mengatakan program ekstensifikasi seharusnya dipertimbangkan lokasi yang strategis. "Saya rasa Papua bukan lokasi yang tepat karena beras bukan makanan utama penduduk Papua," tegas Ether.
Jika pun beras dikirimkan ke Jawa atau Indonesia bagian barat, lanjutnya, maka biayanya akan mahal sehingga harga pokok penjualan (HPP) beras pun akan mahal. Secara teknis harus dilihat kesesuaian Papua untuk dibuat sawah.
"Selain itu, program intensifikasi bisa dilakukan dulu karena lahan sudah ada. Teknologi, infrastruktur dan sarana prasarana (sarpras) pertanian serta bimbingan teknis untuk petani harus dimaksimalkan untuk peningkatan produksi beras," jelasnya.
Peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, menegaskan pemerintah harus mereformasi kebijakan di sektor pangan. Hal itu demi menghindarkan dari kebergantungan impor pangan yang menyedot devisa negara.
Caranya, kata Awan, melalui penguatan kemandirian pangan. "Yang mesti dilakukan yakni optimalisasi pangan lokal yang didukung dengan kebijakan produksi, tata niaga, dan konsumsi yang memperkuat kelembagaan petani," ucap Awan.
Awan membedah secara terperinci peranan pemerintah di masing masing sektor tersebut. Untuk sisi produksi, misalnya, pemerintah perlu memfasilitasi dan mensubsidi sarana produksi pertanian seperti halnya pupuk, teknologi tepat guna, dan pemanfaatan teknologi informasi.
Lalu pada bagian tata niaga, pemerintah perlu intervensi melalui kebijakan harga yang adil dan penguatan koperasi tani dalam distribusi hasil pertanian.
Redaktur: Muchamad Ismail
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Indonesia Tunda Peluncuran Komitmen Iklim Terbaru di COP29 Azerbaijan
- 2 Sejumlah Negara Masih Terpecah soal Penyediaan Dana Iklim
- 3 Ini Kata Pengamat Soal Wacana Terowongan Penghubung Trenggalek ke Tulungagung
- 4 Penerima LPDP Harus Berkontribusi untuk Negeri
- 5 Ini yang Dilakukan Kemnaker untuk Mendukung Industri Musik