Probabilitas Ekonomi RI Resesi dalam 12 Bulan Semakin Besar
Proyeksi Ekonomi I Ekonomi Indonesia 2024 Akan Stagnan di 5%
Foto: Sumber: BPS, Bloomberg - koran jakarta/ones» Selain melambat, ekonomi Indonesia juga menurut para ekonom masih akan lesu pada 2025 mendatang.
JAKARTA– Hasil survei terbaru Bloomberg terhadap 32 ekonom menunjukkan ekonomi Indonesia pada triwulan keempat atau kuartal terakhir 2024 diperkirakan hanya tumbuh 4,93 persen secara tahunan atau year on year (yoy). Proyeksi tersebut lebih rendah dibanding perkiraan sebelumnya yang diproyeksi berada pada 5 persen.
Menurunnya perkiraan itu karena para ekonom yang disurvei pada 21–27 November 2024 itu sudah mulai memperhitungkan perubahan ekonomi global yang begitu cepat setelah terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) periode 2025–2029.
Kalau perkiraan para ekonom itu terealisasi, maka pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia makin melambat di pengujung tahun karena pada kuartal III-2024 lalu ekonomi hanya tumbuh 4,95 persen. Mereka pun memperkirakan pertumbuhan ekonomi RI sepanjang 2024 akan stagnan di angka 5 persen atau melambat dibanding realisasi tahun 2023 lalu 5,05 persen.
Selain melambat, ekonomi RI juga menurut para ekonom masih lesu pada 2025 dengan perkiraan hanya tumbuh 5 persen.
Hal yang perlu dicatat adalah mereka juga menilai perekonomian Indonesia memiliki potensi mengalami resesi dalam 12 bulan dengan probabilitas makin besar, mencapai 10 persen dibanding pada Juli lalu, risiko resesi ekonomi RI masih 0 persen.
Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Imron Mawardi, yang diminta pendapatnya mengatakan prediksi atau hasil survei tersebut memang beralasan, karena sejumlah indikasi memang menunjukkan terjadi penurunan daya beli masyarakat yang berdampak pada konsumsi sebagai motor utama pertumbuhan nasional.
“Memang kalau kita lihat indikasi-indikasi yang ada menunjukkan adanya pelemahan daya beli di masyarakat akhir-akhir ini, seperti angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terus naik, terakhir sebuah survei menunjukkan sudah mencapai sekitar 53 ribu. Sangat mungkin sampai akhir tahun nanti akan mendekati 70 ribu,” kata Imron.
Di sisi lain, jelas Imron, tidak ada sinyal gangguan pasokan barang yang menunjukkan bahwa yang menjadi masalah adalah uangnya, bukan barangnya. Hal itu berarti memang daya beli masyarakat yang turun.
“Kalau kita melihat pertumbuhan antar-quarter 1,5 persen dan yoy 4,95 persen. Dengan kondisi global yang hanya tumbuh 3,2 persen ikut mempengaruhi, kalau tidak ada dorongan signifikan memang sulit mencapai di atas 5 persen. Sebetulnya masih ada harapan meskipun cukup berat untuk mengangkat ke atas 5 persen,” katanya.
Kuartal terakhir memang ada momen yang bisa memicu konsumsi yakni Natal dan Tahun Baru serta pilkada. Nataru banyak orang akan bepergian sehingga transportasi, makanan dan MICE bisa terbantu. Sedangkan momen pilkada serentak, meskipun tidak gebyarnya tidak sebesar pileg dan pilpres, namun akan mendorong banyak uang yang beredar di masyarakat.
“Bagi kelompok masyarakat miskin, tambahan sedikit uang tentu akan dibelanjakan karena mereka minus. Tapi, pemerintah harus melakukan banyak insentif agar bisa mendongkrak. Dengan peluang ini, perkiraan saya pertumbuhan nanti berkisar antara 4,95 sampai 5 persen,” kata Imron.
Biasa Lebih Tinggi
Peneliti Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengatakan pertumbuhan ekonomi di kuartal terakhir biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal III karena ada faktor Nataru dan bonus akhir tahun yang bisa menyebabkan kenaikan permintaan.
Namun demikian, terang Huda, tahun ini cukup menantang karena ada faktor rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang menyebabkan adanya expected inflation.
“Masyarakat bisa menahan konsumsinya karena khawatir ada kenaikan harga tahun depan sehingga mereka berhemat. Tapi, saya rasa masih bisa tumbuh maksimal di angka 5,01 persen. Expected inflation bisa membuat pertumbuhan ekonomi kuartal IV di angka 4,98 persen,” kata Huda.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan pertumbuhan ekonomi yang melambat ditandai deflasi lima bulan berturut turut. “Asalkan jangan bergantung pada konsumsi saja, tetapi harus mendorong investasi dan ekspor,” katanya.
Caranya dengan menciptakan iklim investasi yang kondusif dan memangkas waktu pengurusan izin.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Atma Jaya, YB. Suhartoko, mengatakan November dan Desember, biasanya akan ada peningkatan konsumsi, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, tahun kuartal ke dua perekonomian Indonesia 2024 juga ditengarai terjadi penurunan permintaan, sehingga dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Faktor eksternal yang meningkatkan ketidakpastian juga semakin banyak yang juga menjadi rem pertumbuhan ekonomi pada 2024. “Kesimpulannya secara tahunan ekonomi 2024 sedikit mengalami pelemahan dibanding 2023,” pungkas Suhartoko.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Menag Laporkan Penerimaan Gratifikasi ke KPK
- 2 Dua Petugas Pemilu di Jatim Meninggal Dunia, Tujuh Orang Sakit
- 3 Siswa SMK Hanyut di Air Terjun Lahat, Tim SAR Lakukan Pencarian
- 4 Calon Wakil Wali Kota Armuji Sebut Warga Surabaya Cerdas Gunakan Hak Pilih
- 5 Cuaca Hari Ini, Wilayah Indonesia Umumnya Diguyur Hujan