Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Transformasi Ekonomi I Penjualan Bahan Mentah Tidak Memberi Nilai Tambah bagi Negara

Presiden: Stop Ekspor Bahan Mentah

Foto : ANTARA/NIKOLAS PANAMA

STOP EKSPOR BAUKSIT I Salah satu lokasi pertambangan bauksit di Bintan, Kepulauan Riau. Pemerintah mencanangkan stop ekspor bahan mentah termasuk bauksit pada 2023 untuk mendapatkan nilai tambah pengolahan bahan mentah.

A   A   A   Pengaturan Font

» Pertumbuhan ekonomi diharapkan tidak hanya terus bergantung pada konsumsi yang berkontribusi 56-58 persen terhadap PDB.

» Dengan memperpanjang rantai produksi maka memberi kesempatan yang lebih besar kepada angkatan kerja.

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat menghadiri pembukaan rapat pimpinan TNI-Polri Tahun 2022 di Jakarta, Selasa (1/3), mengatakan transformasi ekonomi harus dimulai dari hilirisasi industri, sehingga tidak lagi mengandalkan ekspor bahan mentah, melainkan ekspor barang setengah jadi atau barang jadi.

"Sejak zaman VOC, 400 tahun yang lalu, kita mengirim bahan mentah, sampai sekarang juga mentah. Itu harus kita stop, stop, stop. Kita tidak dapat apa-apa," tegas Presiden.

Indonesia, jelas Presiden, sejak empat abad lalu hanya mengandalkan penjualan bahan-bahan mentah, baik komoditas tambang, pertanian, dan perkebunan. Penjualan bahan mentah tersebut, jelas Jokowi, tidak menghasilkan nilai tambah bagi negara, termasuk pada penciptaan lapangan kerja, industrialisasi, bea keluar, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), hingga Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Kondisi tersebut yang mendorong Jokowi selaku Kepala Negara memerintahkan untuk menghentikan ekspor nikel sejak 2020. Kemudian pada tahun ini, Indonesia juga berencana stop ekspor bauksit. Meskipun Presiden mengakui rencana kebijakan larangan ekspor bauksit itu memiliki konsekuensi yaitu kemungkinan Indonesia mendapatkan sanksi dari Uni Eropa.

Namun demikian, kebijakan pelarangan ekspor bauksit, kata Presiden, diperlukan agar Indonesia bisa mendapatkan nilai tambah melalui pengolahan bahan mentah, seperti nikel, bauksit, dan tembaga.

"Ini yang namanya transformasi ekonomi. Nikel dulu, meskipun kita masih dibawa ke WTO, digugat oleh Uni Eropa. Kalau kita tidak berani mencoba seperti itu, tidak berani melakukan seperti itu, sampai kapan pun yang kita kirim hanya bahan mentah," kata Presiden.

Dengan transformasi ekonomi melalui industrialisasi, Presiden berharap pertumbuhan ekonomi tidak hanya bertumpu pada sektor konsumsi yang memberi kontribusi sebesar 56-58 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Menanggapi pernyataan Presiden, Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Brawijaya (UB) Malang, Andy Fefta Wijaya, mengatakan apa yang disampaikan Kepala Negara tersebut patut didukung. Sebab, nilai tambah dari ekspor barang setengah jadi atau bahkan barang jadi lebih tinggi dibanding barang mentah, sehingga akan menambah pendapatan dan devisa negara.

"Selain itu dengan memperpanjang rantai produksi sampai dengan barang jadi maka akan memberikan kesempatan yang lebih besar kepada dunia kerja untuk memperluas partisipasi angkatan kerja guna menekan angka pengangguran," kata Andy.

Hal yang juga diperlukan adalah peningkatan kapasitas dan kompetensi angkatan kerja yang bisa mendukung industrialisasi tersebut, termasuk menyiapkan insentif bagi para pelaku usaha yang fokus untuk masuk ke industri pengolahan.

Dihubungi terpisah, Pengamat Ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, mengatakan di tengah situasi sulit karena pandemi, ditambah dengan perang Russia-Ukraina, maka negara mana pun di dunia dipaksa untuk benar-benar serius membenahi ekonominya. Seluruh potensi ekonomi harus benar-benar dikerahkan demi keuntungan sebesar-besarnya masyarakat di negara tersebut.

"Jadi jelas, dari pidato Presiden Jokowi sudah tidak ada waktu lagi untuk main-main demi kepentingan segelintir orang, segelintir kelompok. Pertaruhannya terlalu besar, semua bisa rugi nantinya, kalau sumber daya tidak dikelola secara optimal dan demi sebesar-besarnya kemakmuran bersama," papar Aditya.

Hilirisasi produk, baik pangan maupun mineral dan hasil tambang akan membuat Indonesia mendapat nilai tambah tinggi, serapan lapangan kerja, pekerjaan turunan, dan sekaligus akan diperhitungkan dalam rantai pasok global.

"Dengan hilirisasi pertumbuhan akan inklusif karena pekerjaan banyak. Pelakunya jadi banyak dan rantai nilai lebih panjang. Coba kalau diekspor mentah, sudah konglomeratnya saja yang dapat duit. Soal hilirisasi ini hanya butuh kemauan politik yang kuat dari pemerintah," kata Aditya.

Bangun Smelter

Sebelumnya, anggota Komisi VII DPR RI Lamhot Sinaga meminta BUMN Holding Industri Pertambangan Indonesia, Mind ID untuk membangun fasilitas pemurnian dan pengolahan mineral (smelter) bauksit guna mendukung program pemerintah menghentikan ekspor bauksit pada 2023.

"Saat nanti Juni 2023, pemerintah mencanangkan stop ekspor bauksit, maka dari sekarang Mind ID harus sudah menyiapkan industri yang bisa mengolah bauksit menjadi alumina dan menjadi aluminium," ujarnya.

Lamhot menyampaikan bahwa Indonesia memiliki cadangan bauksit nomor enam terbesar di dunia, tetapi Indonesia justru mengimpor aluminium dari negara lain. Dengan cadangan bauksit yang banyak, menurutnya, Indonesia seharusnya tidak lagi mengimpor aluminium.

"Ada anomali, kita ekspor bauksit, diolah di luar, kita impor kembali untuk bahan baku aluminium," ungkap Lamhot.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top