Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Substitusi ke Produk Lokal I Belanja K/L, Pemda dan BUMN Masih Didominasi Impor

Presiden Sesalkan Lagi Mental Pejabat yang Doyan Impor

Foto : Sumber: BPS, Kemendag – Litbang KJ/and/ones
A   A   A   Pengaturan Font

» Bodoh sekali, uang rakyat dikumpulkan susah payah dari pajak dan PNBP, tapi dibelanjakan buat produk impor.

» APBN dan APBD harus bisa men-trigger investasi sehingga membuka lapangan kerja.

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) semakin menunjukkan kekesalannya dengan mental para pejabat baik di kementerian/lembaga (K/L), perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan pemerintah daerah (pemda) yang masih doyan barang impor, padahal barang atau jasanya bisa diproduksi dalam negeri.

Kekesalan Presiden itu disampaikan dalam Rapat Koordinasi Pengawasan Intern Pemerintah di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (14/6).

Jokowi mengatakan anggaran pemerintah, baik Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN dan APBD) yang dikumpulkan dari pembayaran pajak rakyat dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) seharusnya dialokasikan untuk belanja produk dalam negeri yang menghasilkan nilai tambah agar meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Sayangnya, hingga saat ini belanja pemerintah pusat melalui K/L dan pemda masih didominasi oleh produk impor.

"Ini uang rakyat, uang yang dikumpulkan dari pajak, dari ekspor, dari PNBP, dikumpulkan dengan cara yang tidak mudah, kemudian belanjanya belanja produk impor. Bodoh sekali kita," kata Presiden.

Banyak K/L dan pemda, kata Kepala Negara, tidak mau membeli produk dalam negeri dengan berbagai macam alasan, mulai dari spesifikasinya kurang pas hingga kualitas kurang baik. "Alasannya banyak sekali, padahal ada 842 produk di dalam e-katalog yang sebetulnya produksi di dalam negerinya itu ada," kata Presiden.

Produk substitusi yang diproduksi dalam negeri, kata Presiden, bisa menggantikan produk impor tersebut. Kalau beralih ke produk substitusi, memberi nilai tambah dan menciptakan lapangan kerja.

Oleh sebab itu, belanja pemerintah pusat dan daerah, kata Jokowi, harus pertimbangkan tiga hal penting, yakni menciptakan nilai tambah, membangkitkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri, dan efisien.

Kepala Negara dalam kesempatan itu pun meminta Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) agar terus mengawal supaya produk dalam negeri dapat mendominasi belanja pemerintah pusat dan daerah.

"Kalau ada pabrik kecil yang biasanya melayani 1.000 pelanggan, karena ada pesanan dari pemda dan pemerintah pusat 10.000, mau tidak mau dia akan ekspansi memperluas pabriknya, perluas industrinya, dia akan tambah tenaga kerja. Artinya APBN, APBD bisa men-trigger investasi, bisa membuka lapangan pekerjaan ya caranya seperti ini," kata Presiden.

Kepala BPKP, Muhammad Yusuf Ateh, pada kesempatan itu menyatakan sampai triwulan I-2022, produk impor masih mendominasi e-katalog. Namun, kondisi berangsur membaik setelah Presiden Jokowi mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri dan Produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dalam rangka Menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia pada Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

"Pada minggu ketiga Mei 2022, produk lokal telah mendominasi e-katalog nasional walaupun secara transaksi produk impor masih lebih tinggi," kata Yusuf.

Pro Produksi Nasional

Menanggapi hal tersebut, pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, mengatakan pernyataan Presiden itu jangan ditafsirkan kalau dia antiimpor, tetapi memang pro produksi nasional dan berupaya melepaskan diri dari kebergantungan yang berlebihan pada produk impor.

"Kalau impor ya kita butuh, tapi nyatanya tidak perlu sebesar itu. Terbukti, Kepala Bulog, Budi Waseso, berani menolak impor kalau barangnya diproduksi di dalam negeri dan mencukupi kebutuhan," kata Aditya.

Selama ini, ada juga pendapat yang menyatakan kalau tidak bisa produksi dalam negeri, beli saja perusahaan yang memproduksi di luar negeri. Nyatanya, dengan kondisi ancaman krisis pangan global, banyak negara melarang ekspor komoditas tertentu. "Jadi, apa artinya milik kita kalau kebijakan negara tersebut melarang ekspor. Itu pemikiran yang sesat," katanya.

Begitu pula dengan upaya memacu produktivitas dalam negeri, apalagi Indonesia punya lahan subur dan sudah turun-temurun masyarakat jadi petani, tapi koq tidak dibantu. "Bukan tidak perlu impor pangan, tapi kalau terus impor berarti itu kurang baik, kebergantungan, harus diubah dengan insentif dalam negeri. Masa mau menunggu krisis pangan dunia, baru kita melek," katanya.

Untuk membuat pertanian produktif itu menunggu sekitar tiga tahun. Kalau tidak dimulai sekarang, jika terjadi kerisis pangan, rakyat bisa mati kelaparan.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top