Prabowo Minta Matematika Diajarkan di TK, Bagaimana Seharusnya?
Ilustrasi - Guru dan murid TK Negeri Pembina Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalbar, Jumat (13/10/2023).
Foto: ANTARA/Erafzon Saptiyulda ASDr. Puspita Sari, S.Pd., M.Sc., Universitas Negeri Jakarta
Seiring maraknya berita tentang susunan kementerian baru pada Kabinet Merah Putih, marak pula berita tentang keinginan Presiden Prabowo yang disampaikan melalui Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah yang baru saja dilantik, Abdul Mu'ti, bahwa matematika perlu diajarkan sejak anak-anak di tingkat TK.
Alasannya, Abdul Mu'ti menyebutkan:
"Karena beliau sangat 'concern' dengan peningkatan kualitas sains teknologi dan kalau kita bicara sains teknologi kan salah satunya matematika. Dan tadi ada tawaran bagaimana pelajaran matematika di tingkat SD, kelas 1 sampai kelas 4, dan mungkin mengenalkan matematika untuk anak-anak di tingkat TK."
Keinginan ini menuai respons beragam dari masyarakat, akademisi, bahkan influencer.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI bidang pendidikan, Esti Wijayanti, menekankan bahwa ini memerlukan kajian mendalam dan perencanaan yang matang. Lebih lanjut, Esti menyatakan bahwa penyampaian materi matematika di tingkat TK, memerlukan sistem dan mekanisme tersendiri.
Masyarakat umumnya beranggapan bahwa matematika adalah pelajaran sulit yang menjadi momok bagi anak. Sebab, mata pelajaran ini membutuhkan perhitungan rumit, penggunaan simbol serta rumus yang seringkali tidak relevan dengan kehidupan sehari hari.
Selain itu, anggapan bahwa matematika identik dengan aritmatika, yaitu operasi hitung bilangan seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian, juga perlu diluruskan. Faktanya, matematika bukan sekadar aritmatika, karena aritmatika adalah bagian dari matematika.
Lalu, matematika seperti apa yang perlu dipelajari anak di tingkat TK? Benarkah mengajarkan matematika pada anak sejak TK akan berdampak pada kemampuan anak di bidang sains dan teknologi?
Matematika sebagai pengalaman sensoris dan motoris
Jean Piaget (1896-1980), seorang filsuf dan psikolog pendidikan yang mengembangkan teori perkembangan kognitif anak, menyatakan bahwa anak berusia di bawah 7 tahun berada pada tahap sensorik motorik dan preoperasional. Artinya, mereka dapat memahami lingkungan sekitarnya dengan pengalaman sensorik dan motorik, serta mulai mampu merepresentasikan objek yang diamati.
Pengenalan konsep matematika dapat dilakukan mulai dari yang terdekat dengan anak, diantaranya dengan menggunakan anggota tubuh. Penggunaan jari jemari sebagai alat bantu memahami konsep kuantitas lazim digunakan oleh orangtua di rumah maupun guru di sekolah dalam mengajarkan berhitung.
Namun, materi yang perlu diajarkan kepada anak bukanlah semata-mata simbol atau notasi bilangan, melainkan pemahaman konsep kuantitas dan hubungan antarkuantitas (quantitative relationships) dari objek yang ada di sekitar anak. Contohnya adalah membandingkan banyak benda (kuantitas), dan mengamati perubahan kuantitas yang terjadi jika ada penambahan atau pengurangan objek pada suatu kumpulan objek.
Kegiatan sehari-hari yang berkaitan dengan konsep pengukuran juga erat kaitannya dengan konsep kuantitas. Misalnya, mengukur tinggi badan anak dengan satuan jengkal, dan membandingkan tinggi dua anak yang berbeda berdasarkan hasil pengukuran dengan jengkal.
Contoh lainnya adalah, mengukur lebar ruangan dengan telapak kaki, kemudian membandingkan hasil pengukuran jika digunakan dua telapak kaki dengan ukuran berbeda, misal ukuran telapak kaki anak dan orang dewasa. Pemaknaan akan konsep hubungan antar kuantitas ini merupakan landasan awal dari kemampuan berpikir matematis pada tingkat selanjutnya.
Berpikir kritis dengan matematika
Kemampuan berpikir kritis, sebagai salah satu kemampuan abad-21, dapat diasah melalui pelajaran matematika. Salah satu kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis anak adalah dengan membandingkan objek, seperti membandingkan bentuk, ukuran, dan warna, lalu mengelompokkan objek berdasarkan bentuk, ukuran, atau warna. Kemampuan membandingkan, diantaranya menjelaskan kesamaan dan perbedaan, menjelaskan bagaimana dan mengapa dua objek berbeda atau sama, merupakan awal dari berkembangnya kemampuan berpikir kritis anak.
Kegiatan selanjutnya yang dapat dieksplorasi adalah menyusun (compose) dan menguraikan (decompose) suatu bentuk geometri. Suatu bentuk geometri dapat diuraikan menjadi dua bentuk geometri, kemudian dapat disusun kembali menjadi bentuk yang berbeda dari bagian-bagian yang sama (lihat gambar). Kegiatan ini mengasah kemampuan analisis anak dalam melihat bagian dari suatu bentuk secara keseluruhan, dan kemampuan sintesis dalam menyusun suatu bentuk yang baru.
Matematika dan kemampuan komunikasi
Pada usia TK, komunikasi merupakan salah satu kemampuan yang berkembang dengan pesat. Sayangnya, kemampuan komunikasi dan representasi dalam menjelaskan ide dan gagasan matematika masih belum menjadi perhatian serius di sekolah.
Padahal, kemampuan komunikasi matematis merupakan salah satu standar proses matematika yang ditetapkan baik dalam Kurikulum Merdeka maupun dalam standar internasional yang diterbitkan oleh National Council of Teachers of Mathematics (NCTM).
Mengekspresikan ide dan gagasan secara visual maupun menjelaskan secara verbal merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk melatih kemampuan komunikasi dan bekerja sama anak. Dalam kaitannya dengan matematika, anak dapat menggunakan representasi gambar maupun objek untuk mengomunikasikan gagasannya, misalnya dalam menjelaskan karakteristik suatu benda, atau membandingkan bentuk dan ukuran dua buah benda.
Matematika untuk mendukung sains dan teknologi
Bercermin pada kurikulum matematika sekolah di Australia, Amerika Serikat (AS), atau Belanda, penyusunan standar dan kompetensi matematika anak pada jenjang TK merupakan bagian yang terintegrasi dan berkelanjutan dengan tingkat pendidikan dasar. Konsep keberlanjutan ini juga sudah menjadi perhatian dari Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dalam menyusun dokumen Panduan Capaian Pembelajaran Fase Fondasi, yang terbit tahun 2024.
Dokumen ini telah menyatakan secara eksplisit bagaimana dasar-dasar literasi, matematika, sains, teknologi, rekayasa, dan seni merupakan bagian dari karakteristik lingkup capaian pembelajaran yang perlu dikuasai anak pada jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) atau TK.
Kemampuan menyatakan hubungan antar kuantitas (bilangan), mengidentifikasi pola, mengenali dan membandingkan bentuk dan karakteristik benda di sekitar, mengklasifikasi objek, dan pengalaman langsung dengan benda-benda konkret di lingkungan, merupakan kemampuan berpikir matematis yang perlu dikembangkan pada jenjang PAUD.
Kemampuan matematika dan berpikir matematis, yang mencakup berpikir kritis, logis, dan sistematis, merupakan salah satu aspek fundamental dalam perkembangan sains dan teknologi.
Keterkaitan antara perkembangan sains dan teknologi dengan matematika merupakan topik yang dapat dieksplorasi lebih lanjut, agar kurikulum matematika dapat mengintegrasikan aspek sains dan teknologi, tidak hanya di jenjang PAUD dan TK, namun juga di jenjang pendidikan selanjutnya.
Dr. Puspita Sari, S.Pd., M.Sc., Dosen, Universitas Negeri Jakarta
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Berita Trending
- 1 Hati Hati, Banyak Pengguna yang Sebarkan Konten Berbahaya di Medsos
- 2 Lulus Semua, 68 Penerbang AL Tuntaskan Kursus Peningkatan Profesi Selama Setahun
- 3 Ayo Terbitkan Perppu untuk Anulir PPN 12 Persen Akan Tunjukkan Keberpihakan Presiden ke Rakyat
- 4 Pemerintah Jamin Stok Pangan Aman dengan Harga Terkendali Jelang Nataru
- 5 Cegah Pencurian, Polres Jakbar Masih Tampung Kendaraan Bagi Warga yang Pulang Kampung
Berita Terkini
- Jembatan Hanyut Akibatkan Banjir Situbondo dan Ratusan Warga Terisolir
- Pilih Pelatih Baru, Arema FC Berhati-hati dan Penuh Pertimbangan
- Tutup Putaran Pertama, Persik Kediri Berambisi Hasil Tiga Poin
- Sorak Hore! 1.500 Tahanan Kabur dari Penjara Mozambik
- Sinyal Perang Saudara Berlanjut, 14 Polisi Suriah Tewas Disergap Pasukan Loyalis Assad