Posisi Strategis Balitbang
Jika sebuah perda dibuat atas dasar kajian ilmiah dan studi lapangan objektif, produk tersebut tidak menimbulkan masalah, apalagi dipermasalahkan Mahkamah Agung. PP16/2010 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD mengatur raperda yang diajukan pemda harus dilengkapi NA. Sedang UU No 12 Tahun 2011 dan Perpres 87/2015 tentang Pembentukan Perundang-undangan pun hampir sama.
Suatu produk hukum perlu dilengkapi NA. Formatnya sesuai dengan lampiran UU No 12/2011. Sifatnya sangat umum untuk penyusunan perundang-undangan baik UU, peraturan pemerintah (PP), ataupun perda. Ruang kosong ini peluang bagus bagi balitbang kemendagri melakukan kajian sekaligus menyiapkan rumusan kebijakan. Bentuk keluarannya bisa permendagri, perpres, atau PP.
Selama ini, praktik penyusunan NA untuk perda provinsi dan kabupaten/kota, tanpa monitoring atau evaluasi oleh lembaga yang lebih tinggi. Balitbang kemendagri belum sampai pada tahap itu dan belum juga memiliki standar NA. Akibatnya, bentuk dan isi NA berbeda-beda. Jadinya, NA suatu perda tidak lebih sebagai suatu pelengkap alias formalitas belaka. Kadang, yang penting sudah ada NA. Kalau sudah seperti itu, jangan lagi bertanya kualitas 60.000-an perda seluruh Tanah Air. Wajar jika kemudian tak kurang dari 3.134 perda harus dibatalkan.
Dalam produk hukum yang mengatur pedoman penyusunan NA, perda tersebut sebaiknya juga perlu memuat legalisasi atau forum konsultasi penyusunannya. Misalnya, NA perda kabupaten/kota dikonsultasikan lebih dulu dengan balitbang provinsi. Kemudian, perda provinsi dikonsultasikan ke balitbang kemendagri. Tujuannya agar terlahir perda berbobot.
Upaya ini juga meminimalkan NA yang asal-asalan. Dampaknya, memang pekerjaan balitbang menjadi lebih numpuk. Tetapi ini dapat meningkatkan kualitas ASN balitbang pusat maupun daerah. Dengan banyaknya kegiatan ilmiah berbobot di balitbang kemendagri otomatis mematahkan pameo, seolah-olah balitbang sulit berkembang.
Halaman Selanjutnya....
Komentar
()Muat lainnya