Politik Luar Negeri Bebas Aktif Indonesia Masih Relevan
FORUM INTERNASIONAL l Presiden RI, Sukarno, saat berpidato pada Konferensi Asia Afrika (KAA) yang dilaksanakan di Bandung pada 1955. Penyelenggaraan KAA ini merupakan perwujudan dari konsep politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif dalam upaya membantu terwujudnya perdamaian dunia.
Foto: DOK PERPUSTAKAAN NASIONAL RIPolitik luar negeri bebas aktif Indonesia akan terus mendapat tantangan. Namun begitu Indonesia akan terus menjalankannya untuk kepentingan nasional dan demi menciptakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
JAKARTA - Suatu negara tidak mungkin bisa berdiri sendiri tanpa bantuan atau kerja sama dengan negara lainnya termasuk Indonesia sendiri. Sebagai masyarakat internasional, Indonesia pun membutuhkan berbagai kerja sama internasional untuk memenuhi kebutuhan negaranya dan demi tercapainya kepentingan nasional negara. Hal ini dilakukan karena tidak meratanya sumber daya yang dimiliki oleh negara-negara.
Meletusnya Perang Dunia II telah melahirkan bipolarisasi di dunia internasional sehingga terbentuklah kedua blok yaitu blok Barat dan blok Timur dimana blok Barat merupakan kubu yang sepaham dengan Amerika Serikat (AS) dan blok Timur merupakan kubu yang sepaham Uni Soviet.
Kedua negara adikuasa tersebut bersitegang dan melakukan perang dingin. Sebagai akibat dari perang dingin tersebut muncullah dekonsolisasi di berbagai belahan dunia yaitu penghapusan daerah jajahan sehingga beberapa negara menyatakan kemerdekaannya.
Keberhasilan Indonesia mendapatkan pengakuan dunia Internasional melalui meja perundingan ini menjadi titik tolak dari perjuangan diplomasi Indonesia mencapai kepentingannya.
Sejak pertengahan 1950-an, Indonesia telah memprakarsai dan mengambil sejumlah kebijakan luar negeri yang sangat penting dan monumental, seperti Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada 1955. Konsep politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif sendiri merupakan gambaran dan usaha Indonesia untuk membantu terwujudnya perdamaian dunia.
Salah satu implementasinya adalah keikutsertaan Indonesia dalam membentuk solidaritas bangsa-bangsa yang baru merdeka dalam forum Gerakan Non-Blok. Forum ini merupakan refleksi atas terbaginya dunia menjadi dua kekuatan besar, yakni blok Barat (AS) dan blok Timur (Uni Soviet), serta konsep politik luar negeri yang bebas aktif ini berusaha membantu bangsa-bangsa di dunia yang belum terlepas dari belenggu penjajahan.
Bersifat Universal
Konsepsi politik luar negeri bebas aktif masih saja menjadi perdebatan apakah masih relevan atau tidak lagi. Perbedaan pandangan tentang relevansi "bebas aktif" dalam politik luar negeri Indonesia karena ada yang berpandangan dunia sudah berubah, dari kondisi sistem internasional dulu beda dengan sekarang, dan disisi lain ada yang meyakini konsepsi tersebut bersifat universal, berlaku dari periode ke periode pemerintahan.
Perdebatan ini tidak akan pernah selesai jika kita tidak memahami secara komprehensif rasionalisasi Wakil Presiden pertama Indonesia, Moh Hatta, yang meletakkan bebas aktif sebagai landasan politik luar negeri Indonesia. Tiga tahun setelah Indonesia merdeka atau tepatnya pada 2 September 1948, Moh Hatta telah mencetuskan politik luar negeri yang bebas aktif.
Bebas aktif dapat diartikan bahwa secara terminologi "bebas" berarti tidak memiliki ikatan pada salah satu blok. Sedangkan "aktif" berarti terlibat aktif dalam memperjuangkan perdamaian dunia.
Bebas aktif juga dimaknai oleh Moh Hatta dengan perumpamaan "mendayung di antara dua karang" yang artinya adalah jalan yang harus ditempuh Indonesia untuk keluar atau melewati dua karang (AS dan Uni Soviet). Menurut Hatta, jalan ini sangat penting dan dibutuhkan untuk menjawab situasi dalam negeri dan kondisi luar negeri.
Dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif maka Indonesia tidak mengekor pada satu kekuatan besar atau menjadi objek, tetapi dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa maka spirit-nya adalah menjadi subjek.
Kepentingan Nasional
Penguatan mengenai politik luar negeri juga disampaikan Presiden Joko Widodo setelah pelantikan pada 20 Oktober 2014. Dalam pidato tersebut, Presiden Joko Widodo menyampaikan, "Saya ingin menegaskan di bawah pemerintahan saya, Indonesia sebagai negara terbesar ketiga dengan penduduk Muslim terbesar di dunia sebagai negara kepulauan dan sebagai negara terbesar di Asia Tenggara akan terus menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif, yang diabdikan untuk kepentingan nasional dan ikut serta dalam menciptakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial,".
Menurut Staf Ahli Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, yang sekarang menjabat Plt juru bicara Kemlu RI, Teuku Faizasyah, mengungkap bahwa kebijakan luar negeri harus dilihat dalam totalitas atau kelengkapannya di mana setiap aktor yang berbeda berkontribusi, dalam kapasitasnya masing-masing, untuk pencapaian tujuan diplomatik apa pun.
Singkatnya, kebijakan luar negeri Indonesia dan diplomasi di bawah Presiden Joko Widodo dan di bawah pengawasan Menlu RI, Retno Marsudi, akan terus melayani tujuannya sendiri yaitu mempromosikan kepentingan nasional Indonesia. Di era ketika kompetisi global lazim, Indonesia harus memainkan peran konstruktif untuk menemukan keseimbangan yang tepat.
"Diplomasi hari ini adalah bagian dari proses siklus, membangun tonggak dari tahun-tahun panjang perilaku diplomatik dan berasal dari prinsip-prinsip sentral kebijakan luar negeri Indonesia yang ditetapkan dalam pembukaan Konstitusi Indonesia," pungkas Faizasyah. ang/berbagai sumber/I-1
Redaktur: Ilham Sudrajat
Penulis:
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Ini Gagasan dari 4 Paslon Pilkada Jabar untuk Memperkuat Toleransi Beragama
- 2 Irwan Hidayat : Sumpah Dokter Jadi Inspirasi Kembangkan Sido Muncul
- 3 Trump Menang, Penanganan Krisis Iklim Tetap Lanjut
- 4 Jerman Percaya Diri Atasi Bosnia-Herzegovina
- 5 Disbun Kaltim Fasilitasi Alih Fungsi Lahan Tambang Menjadi Perkebunan