Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
GAGASAN

Politik "Hantu"

Foto : KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

Entah siapa yang membuat, setiap bulan September muncul, "Awas! Bahaya Laten Komunis". Kata-kata itu bertebaran di spanduk-spanduk pinggir jalan maupun di media sosial. Setiap September, Peristiwa 1965 yang sudah berjarak 50 tahun lebih muncul kembali ke permukaan. September bukan bulan yang semestinya ceria seperti yang dilagukan Vina Panduwina.

Dia justru menjadi bulan hantu komunis bergentayangan lagi. Politik "hantu" merupakan cerminan bawah sadar sebuah bangsa akan ketakutan masa lalu. "Hantu" merupakan konstruksi masyarakat. Setelah tragedi 1965, terutama di Jawa, muncul hantu gundul pringis yang berbentuk kepala meringis sambil berputar-putar.

Hantu ini menakut-nakuti penduduk desa pada malam hari. Kemunculannya diceritakan seperti suara kelapa jatuh, begitu didekati, tiba-tiba muncul hantu gundul pringis. Kemunculannya merupakan alegori banyaknya korban tragedi 1965 yang dipenggal kepalanya. Tampilannya yang meringis merupakan ekspresi kesakitan amat sangat.

Para peneliti sejarah seperti Soe Hok Gie (2005) dan Robert (2004), mengatakan di Jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur, banyak anggota dan simpatisan PKI diperkusi dengan berbagai cara. Masyarakat yang miris dengan kejadian tersebut, karena tidak berani mengungkapkan secara langsung dampak dari operasi penumpasan PKI, menyampaikan lewat alegori hantu gundul pringis yang tiba-tiba muncul di mana-mana.

Orde Baru merupakan pengarang mahir menarasikan Peristiwa 1965. Diawali dengan teror di kawasan Lubang Buaya pada subuh tanggal 1 Oktober 1965, kisah hantu komunisme dimulai. Mulai dari penyiksaan terhadap jenderal-jenderal (disilet, dicungkil mata hingga dipotong kemaluannya). Acara diawali pesta harum bunga yang konon dilakukan anggota Gerwani.

Ini muncul di koran-koran yang berafiliasi dengan Orde Baru. Peristiwa tersebut hingga sekarang masih abadi disimpan di museum Pancasila Sakti. Selanjutnya, narasi dibuat dalam wujud film Pengkhianatan G 30 S/PKI garapan Arifin C Noer yang berhasil mengonstruksi kesadaran masyarakat akan kebengisan PKI.

Ini mulai dari murid sekolah dasar sampai masyarakat umum diwajibkan menonton film tersebut. Sementara itu, setiap malam 30 September, film tersebut diputar di TVRI untuk memasukkan teror hantu komunis ke rumah-rumah penduduk. Visualisasi-visualisasi dalam film tersebut dibuat sedemikian rupa, sehingga mudah menempel di benak penonton.

Aksi-aksi kekerasan dalam film, lengkap dengan ceceran darah, harus ditonton anak-anak di bawah umur. Lewat Penataran P4 pula, hantu komunis diawetkan. Dalam penataran dinarasikan, PKI dengan ideologi komunisme yang anti-Tuhan telah merongrong Pancasila. Untung Pancasila sakti sehingga bisa melawan ideologi komunisme.

Sebagaimana film Pengkhianatan G 30 S/PKI, siswa sekolah hingga masyarakat umum diwajibkan mengikuti penataran P4. Dengan narasi-narasi yang dibangun apik tersebut, generasi Orde Baru menjadi sangat takut hantu komunis. Ketakutan inilah untuk mengontrol dinamika politik. Suara-suara kritis yang mencoba menentang kekuasaan akan dihubungkan dengan hantu komunis.

Contohnya, penduduk sekitar Kedung Ombo yang pada tahun 1980-an menolak penggusuran pembangunan waduk, disebut-sebut sebagai keturunan PKI. Kemudian, anak-anak muda yang kritis pada Orde Baru, setelah pecah peristiwa 27 Juli 1996, organisasi mereka, PRD, disebut-sebut memiliki kesamaan dengan PKI.

Narasi hantu komunis sesui dengan teori Plato dalam Republik. Dia melalui "mitos gua" menerangkan sebuah realitas ditangkap. Ada sekelompok narapidana yang menghadap dinding gua. Tangan dan kaki mereka diikat rantai. Sedangkan leher dipasung sehingga tidak bisa menggerakkan kepala.

Di belakang mereka dinyalakan api unggun. Ada dinding setinggi leher antara para narapida dan api unggun. Di seberang dinding, ada orang-orang yang hilir mudik mengangkat barang di kepala. Bayangan mereka terpantul di dinding gua dan bayangan inilah yang ditangkap para napi yang menganggapnya realitas sebenarnya.

Hantu komunis juga sebetulnya hanya bayangan. Akan tetapi, karena masyarakat ditempatkan dalam gua, dirantai dan dipasung, menganggap bayangan itulah kenyataan yang dipercaya sebagai kebenaran. Itulah yang terus menerus direproduksi dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi, sehingga yang awalnya hanya sebuah bayangan, berubah dalam kenyataan di dalam benak. Maka narasi hantu benar-benar berhasil menghantui sepanjang hidup bangsa Indonesia.

Era Milenial

Sensasi hantu memang disukai masyarakat, sehingga cerita-cerita horor marak dalam film, novel, dan televisi. Antara takut, percaya-tidak percaya, masyarakat antusias menikmati. Psikologi massa inilah yang dimanfaatkan untuk terus menghidupkan hantu komunis. Produsen hantu komunis, saat ini menghadapi tantangan.

Tumbuhnya generasi milenial yang tak ada sangkut pautnya dengan Orde Baru, membuat hantu komunis tidak diminati lagi. Generasi milenial tak bisa dipisahkan dengan gawai untuk menikmati revolusi teknologi informasi. Internet memudahkan manusia mencari dengan leluasa segala informasi baik valid atau hoax di internet.

Dengan situasi seperti ini, informasi tidak bisa dikontrol lagi, termasuk negara. Generasi milenial sudah lama keluar dari "gua" Plato, tempat nenek moyangnya hanya bisa melihat bayangan. Generasi milenial juga tidak akan mudah percaya hantu komunis. Di samping jarak dengan peristiwa sudah jauh, mereka sudah bisa mengakses informasi seluas-luasnya.

Sekarang, dengan gampang informasi Peristiwa 1965 didapat baik berbahasa Indonesia maupun Inggris. Dengan begitu, mereka mempunyai banyak pembanding. Contoh desakan beberapa pihak agar film Pengkhiatan G 30 S/PKI diputar ulang. Tidak mudah mengindoktrinasi generasi milenial. Selepas menonton film tersebut, mereka akan mudah mencari informasi seputar film itu. Mereka mencari jawab apakah benar-benar terjadi atau hanya rekayasa.

Dengan kekayaan referensi, mereka kritis, tidak akan langsung mempercayai suguhan. Selain itu, hantu-hantu yang disukai generasi milenial berbeda dengan angkatan sebelumnya. Referensi hantu generasi milenial lebih banyak mulai dari produksi Hollywood sampai K-Pop, bukan sebatas pocong dan kuntilanak lagi.

Kehororan hantu komunis dalam film dan buku tidak menakutkan lagi. Inilah tantangan para produsen hantu komunis yang muncul setiap bulan September. Mungkin bisa dicoba membuat film Pengkhianatan G 30 S/PKI yang dibintangi personel band K-Pop. Siapa tahu berhasil menakut-nakuti generasi milenial.

Endhiq Anang P, Alumnus Filsafat UGM

Komentar

Komentar
()

Top