Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Polisi Tembak Polisi

A   A   A   Pengaturan Font

Peristiwa tragis dan berdarah terjadi di Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) Polsek Cimanggis, Depok, Jawa Barat, Kamis (25/7). Pada pukul 20.50 WIB, tujuh tembakan menyasar ke tubuh Bripka Rahmat Efendy. Dia ditembak rekannya sesama anggota polisi, Brigadir Rangga Tianto, hingga tewas di tempat. Korban ditembak bagian dada, leher, paha, dan perut menggunakan senjata api jenis HS 9.

Rangga merupakan anggota Direktorat Polisi Air Badan Pemeliharaan Keamanan Polri. Sedangkan Bripka Rahmat anggota Samsat Polda Metro Jaya. Kasus bermula, tawuran di Lapangan Sanca, Tapos, Depok. Salah satu pelaku, FZ, celurit. FZ dibawa Bripka Rahmat Effendy dan warga ke Polsek Cimanggis. Dia ditahan.

Orang tua FZ kemudian mendatangi Polsek Cimanggis ditemani Brigadir Rangga. Mereka minta FZ dibebaskan agar cukup dibina orang tuanya. Namun, Rahmat menolak dengan nada tinggi. Tersulut emosi, Brigadir Rangga pergi ke ruangan lain, mengambil senjata lalu terjadi peristiwa penembakan itu.

Brigadir Rangga terancam hukuman seumur hidup dan dipecat. Ada tiga peraturan yang dilanggar. Pertama, pelanggaran pidana umum menghilangkan nyawa Bripka Rahmat Efendy. Kedua, pelanggaran disiplin sebagai anggota polisi karena membawa senjata dalam kondisi tidak berdinas. Ketiga, pelanggaran etika profesi karena menghilangkan nyawa seseorang.

Izin kepemilikan senjata api jenis HS 9 yang digunakan Rangga Tianto untuk menembak rekannya, Bripka Rahmat Efendy, baru saja diperpanjang Mei 2019. Senjata api tersebut milik Brigadir Rangga. Setiap anggota wajib memperpanjang izin kepemilikan senjata api setiap tahun. Rangga pun telah melewati tahap uji psikologi untuk memperpanjang kepemilikan senjata apinya.

Publik menyayangkan polisi tembak polisi itu. Apalagi, penembakan dilakukan di kantor mereka sendiri, di Polsek Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Standar penggunaan senjata api oleh anggota Polri sudah diatur jelas dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Aturan itu juga tertuang dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Namun, peraturan tersebut tampaknya tak juga bisa mencegah terjadinya peristiwa penembakan sesama anggota polisi. Peristiwa di Depok ini bukan yang pertama. Senjata api rentan disalahgunakan dan rentan pula digunakan dengan tidak sesuai prosedur. Padahal senjata api itu tidak boleh digunakan untuk kepentingan di luar tugas. Maka, perlu pembinaan para anggota Polri secara rutin, terlebih mereka yang dipercaya memegang senjata api.

Penggunaan senjata api harus memenuhi asas legalitas, necessity (keperluan), dan proporsionalitas. Dalam kasus Rangga ini, asas legalitas jelas tidak terpenuhi. Brigadir Rangga menggunakan senjata api itu bukan saat bertugas, melainkan untuk kepentingan pribadi dan sarat dengan konflik kepentingan. Asas nesesitas dan proporsionalitas juga tidak terpenuhi, karena dia tidak perlu menggunakan senjata api itu. Rangga juga tidak proporsional jika dia menggunakan senjata api itu hanya untuk membebaskan ponakannya.

Aksi penembakan di Polsek Cimanggis berpotensi memunculkan rasa kekhawatiran pada publik berkaitan dengan keselamatan mereka. Keselamatan anggota polisi saja terancam ketika berada di markasnya, apalagi rakyat biasa.

Ke depan, tragedi polisi menembak seseorang hingga tewas itu tidak boleh terjadi lagi. Terlebih, aksi penembakan dilakukan seorang anggota kepolisian tanpa alasan jelas. Publik berharap petinggi kepolisian melakukan evaluasi terhadap penembakan di Polsek Cimanggis. Setidaknya, Mabes Polri harus melakukan tes psikologi kepada anggota yang memegang senjata secara berkala.

Komentar

Komentar
()

Top